Rabu, 27 Juni 2012

MAKALAH: KEARIFAN LOKAL DI MURIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengertian
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan warisan nenek moyang dalam khasanah tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk kepercayaan, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungan dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa menyakiti sang ibu (alam)/ sacukupe. Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib (Keraf, 2002).
Banyak kearifan lokal yang sampai sekarang terus menjadi panutan masyarakat di Indonesia antara lain di Jawa (pranoto mongso, nyabuk gunung, menganggap suatu tempat keramat); di Sulawesi (dalam bentuk larangan, ajakan, sanksi) dan di Badui Dalam (buyut dan pikukuh serta dasa sila). Kearifan lokal-kearifan lokal tersebut ikut berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya.
Namun sedemikian seiring dengan berkembangnya jaman. Lambat laun kearifan masyarakat bersahabat dengan alam mulai tergerus oleh teknologi dan kesenjangan ekonomi. Berujung peramabahan dan berakibat ketidak-seimbangan alam yang melahirkan bencana.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh (Francis Wahono, 2005).
1.      Pentingnya Kearifan Lokal
Seperti kita ketahui local wisdom tidak hanya semata-mata mencegah bencana. Contohnya seperti kemaren adanya krisis ekonomi yang melanda Eropa, Amerika dan Negara-negra maju. Masyarakat yang hidup bersahabat dengan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan. Tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Seperti yang terjadi di Roma-Italy orang melakukan bunuh diri di tempat umum karena mengaku tidak tahan akan himpitan ekonomi dampak krisis tersebut (Kompas TV). Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya.
2.      Perilaku Manusia
Perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan karena perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong dan persepsi, serta faktor lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, seperti pada Gambar 1. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah faktor dasar, yang meliputi pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Faktor pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya dan strata sosial. Sebagai faktor pendorong meliputi sentuhan media massa baik elektronik maupun tertulis, penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sejauh mana penyerapan informasi oleh seseorang tergantung dimensi kejiwaan dan persepsi terhadap lingkungan, untuk selanjutnya akan direfleksikan pada tatanan perilakunya. (Su Ritohardoyo, 2006:51)
Selanjutnya tatanan perilaku seseorang dapat digambarkan dalam suatu daur bagan, yaitu rangkaian unsur hubungan interpersonal, sistem nilai, pola pikir, sikap, perilaku dan norma (Ronald, 1988 dalam Su Ritohardoyo, 2006:52). Pada dasarnya manusia sebagai anggota masyarakat sangat tergantung pada lahan dan tempat tinggalnya. Di sini terdapat perbedaan antara lahan dan tempat tinggal. Lahan merupakan lingkungan alamiah sedangkan tempat tinggal adalah lingkungan buatan (binaan). Lingkungan binaan dipengaruhi oleh daur pelaku dan sebaliknya (Gambar 1 dan 2.).
Description: C:\Documents and Settings\vanjaran\Desktop\gsg.JPG
Description: C:\Documents and Settings\vanjaran\Desktop\gwgwe.JPG

B.     Pendekatan-Pendekatan yang Dilakukan Dalam Belajar Kearifan Lokal
a.       Politik ekologi (Political Ecology)
Politik ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk mengkaji sebab akibat perubahan lingkungan yang lebih kompleks daripada sekedar sistem biofisik yakni menyangkut distribusi kekuasaan dalam satu masyarakat. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran tentang beragamnya kelompok-kelompok kepentingan, persepsi dan rencana yang berbeda terhadap lingkungan. Melalui pendekatan politik ekologi dapat untuk melihat isu-isu pengelolaan lingkungan khususnya menyangkut isu “right to environment dan environment justice” dimana right merujuk pada kebutuhan minimal/standarindividu terhadap obyek-obyek right seperti hak untuk hidup, hak untuk bersuara, hak untuk lingkungan dan lain-lain. Adapun justice menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas obyek-obyek right yaitu merujuk pada persoalan-persoalan relasional antar individu dan antar kelompok (Bakti Setiawan, 2006).
b.      Human Welfare Ecology
Pendekatan Human Welfare Ecology menurut Eckersley, 1992 dalam Bakti Setiawan, 2006 menekankan bahwa kelestarian lingkungan tidak akan terwujud apabila tidak terjamin keadilan lingkungan, khususnya terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya. Maka dari itu perlu strategi untuk dapat menerapkannya antara lain :
Strategi pertama, melakukan perubahan struktural kerangka perundangan dan praktek politik pengelolaan sumberdaya alam, khususnya yang lebih memberikan peluang dan kontrol bagi daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses sumberdaya alam (pertanahan, kehutanan, pertambangan, kelautan). Dalam hal ini lebih memihak pada masyarakat lokal dan petani dan membatasi kewenangan negara yang terlalu berlebihan (hubungan negara – capital – masyarakat sipil)
Strategi kedua, menyangkut penguatan institusi masyarakat lokal dan petani.
c.       Perspektif Antropologi
Dalam upaya untuk menemukan model penjelas terhadap ekologi manusia dengan perspektif antropologi memerlukan asumsi-asumsi. Tasrifin Tahara dalam Andi M, Akhbar dan Syarifuddin (2007) selanjutnya menjelaskan bahwa secara historis, perspektif dimaksudkan mulai dari determinisme alam (geographical determinism), yang mengasumsikan faktor-faktor geografi dan lingkungan fisik alam sebagai penentu mutlak tipe-tipe kebudayaan masyarakat, metode ekologi budaya (method of cultural ecology) yang menjadikan variabel-variabel lingkungan alam dalam menjelaskan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan manusia. Neofungsionalisme dengan asumsi keseimbangan (equilibria) dari ekosistem-ekosietem tertutup yang dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulating system), materialisme budaya (cultural materialism) dengan keseimbangan cost-benefit terlembagakan, hingga ekologi Darwinisme dengan optimal fitness dalam respon atau adaptasi untuk “survival”.
d.      Perspektif Ekologi Manusia
Menurut Munsi Lampe dalam Andi M, Akhbar dan Syarifuddin (2007) terdapat tiga perspektif ekologi manusia yang dinilai relefan untuk aspek kearifan lokal, yaitu 1) pendekatan ekologi politik, 2) pendekatan ekosistemik dan 3) pendekatan konstruksionalisme.
1) Pendekatan ekologi politik memusatkan studi pada aspek pengelolaan sumberdaya milik masyarakat atau tidak termiliki sama sekali, dan pada masyarakat-masyarakat asli skala kecil yang terperangkap di tengah-tengah proses modernisasi.
2) Pendekatan ekosistemik melihat komponen-komponen manusia dan lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem yang seimbang dan
3) Paradigma komunalisme dan paternalisme dari perspektif konstruksionalisme. Dalam hal ini kedua komponen manusia dan lingkungan sumberdaya alam dilihat sebagai subyek-subyek yang berinteraksi dan bernegosiasi untuk saling memanfaatkan secara menguntungkan melalui sarana yang arif lingkungan.
e.       Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan Konstekstual Progressif)
Model ini lebih aplikatif untuk menjelaskan dan memahami fenomena-fenomena yang menjadi pokok masalahnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan model penjelasan yang empirik, menyediakan tempat-tempat dan peluang bagi adopsi asumsi-asumsi dan konsep-konsep tertentu yang sesuai. Selanjutnya Vayda dalam Su Ritohardoyo (2006:25) menjelaskan bahwa pendekatan kontekstual progressif lebih menekankan pada obyek-obyek kajian tentang :
1) aktivitas manusia dalam hubungan dengan lingkungan
2) penyebab terjadinya aktivitas dan
3) akibat-akibat aktivitas baik terhadap lingkungan maupun terhadap manusia sebagai pelaku aktivitas.



BAB III
PEMBAHASAN

A.    Kearifan Lokal di Desa Rahtawu
Di daerah sekitar Gunung Muria, salah satunya Desa Rahtawu-Kudus. Kearifan lokal masih berusaha dipertahankan masyarakat disana. Adalah dengan sukuran dan selamatan atau mengkeramatkan suatu tempat seperti punden dan hutan keramat.
Menurut Bukari (53 Tahun), Juru kunci Petilasan Abiyoso, Kepercayaan disini (Rahtawu) masih sangat dijunjung tinggi. Di Gunung Pojok daerah Wetan Kali dipercaya warga menjadi hutan yang keramat. Disana ada sebuah batu yang dinamakan warga sebagai Watu Bandot. Batu tersebut seluruhnya dililit oleh akar dari pohon besar yang berada disana. Dan dipercaya di Watu Bendot ada penunggunya yang berupa ular gaib (badan ular-kepala manusia ), penunggu wilayah itu. Warga tidak ada yang berani untuk menebang pohon yang berada disana (hutan), takut terjadi musibah (data; MRC Indonesia, 15 Mei 2012).
Dari hasil wawancara diatas dapat ditarik kesimpulan, nenek moyang kita mengetahui betul dampak bencana apabila terjadi perambahan hutan dan pengerukan sumberdaya alam secara membabi buta. Makanya leluhur membuat mitos atau mengkeramatkan suatu tempat-tempat yang menjadi pondasi alam, agar terjadi keseimbangan. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang tertera dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan sumberdaya alam disebutkan dalam ayat 10 mencakup sumberdaya alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan.
Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Masyarakat pedusunan memiliki keunikan khusus seperti kesederhanaan, ikatan emosional tingi, kesenian rakyat dan loyalitas pada pimpinan kultural seperti halnya konsep-konsep yang berkembang di pedusunan sebagai seluk beluk masyarakat jawa seperti dikemukakan oleh Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono (2008:40-41) akan pemahamannya pada:
1) Gusti Allah
2) Ingkang Akaryo jagad
3) Ingkang Murbeng Dumadi
4) Hyang Suksma Adiluwih
5) Hyang maha Suci
6) Sang Hyang Manon
7) Agama Ageman Aji, dan
8) Kodrat Wiradat
Semua itu menjadi pedoman bagi orang Jawa dalam berperilaku, sehingga selalu mempertimbangkan pada besarnya Kekuasaan Gusti Allah dan harus menjaga apa saja yang telah diciptakannya. Di samping itu dalam berperilaku orang akan berpedoman pada berbagai macam hal yang pada hakekatnya mempunyai nilai baik dan buruk serta pada kegiatan yang didasarkan pada benar dan salah (Brennan, Andrew, Lo, Yeuk-Sze, 2002).


BAB IV
SIMPULAN
A.    Menurut Nababan (1995)
Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka Nababan (1995) mengemukaka prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai berikut :
1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri
2. Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.
4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat.
5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu.
6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

ü  Jatna Supriatna, 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
ü  Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
ü  Nababan, 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Di Indonesia. Jurnal Analisis CSIS : Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV No. 6 Tahun 1995
ü  Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono, 2008. Kearifan Lingkugan, Dalam Perspektif Budaya Jawa. Yayasan Obor Indonesia
ü  Rimbo Gunawan, Juni Thamrin dan Endang Suhendar, 1998. Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat. Bandung
ü  Sunarko dan Eddy Kristiyanto, 2008. Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius
ü  Suhartini. Jurnal: Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Jurusan Pedidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
ü  Data; MRC Indonesia, 15 Mei 2012. di Desa Rahtawu-Kudus.

1 komentar:

  1. If you're attempting to lose weight then you absolutely need to try this brand new personalized keto diet.

    To create this service, certified nutritionists, fitness trainers, and top chefs united to provide keto meal plans that are effective, decent, cost-efficient, and fun.

    From their grand opening in early 2019, 1000's of clients have already remodeled their figure and well-being with the benefits a good keto diet can provide.

    Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-tested ones given by the keto diet.

    BalasHapus