BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Kearifan
lokal (local wisdom) merupakan warisan nenek moyang dalam khasanah tata nilai
kehidupan yang menyatu dalam bentuk kepercayaan, budaya dan adat istiadat.
Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungan dengan
mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan,
dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna
mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa menyakiti sang ibu (alam)/ sacukupe.
Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini
dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus
membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib
(Keraf, 2002).
Banyak
kearifan lokal yang sampai sekarang terus menjadi panutan masyarakat di
Indonesia antara lain di Jawa (pranoto mongso, nyabuk gunung, menganggap suatu
tempat keramat); di Sulawesi (dalam bentuk larangan, ajakan, sanksi) dan di
Badui Dalam (buyut dan pikukuh serta dasa sila). Kearifan lokal-kearifan lokal
tersebut ikut berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya.
Namun
sedemikian seiring dengan berkembangnya jaman. Lambat laun kearifan masyarakat
bersahabat dengan alam mulai tergerus oleh teknologi dan kesenjangan ekonomi.
Berujung peramabahan dan berakibat ketidak-seimbangan alam yang melahirkan
bencana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kearifan
Lokal
Kearifan
lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam
menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai
bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak hanya
berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku,
sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia
dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun
menentukan peradaban manusia yang lebih jauh (Francis Wahono, 2005).
1. Pentingnya
Kearifan Lokal
Seperti
kita ketahui local wisdom tidak hanya semata-mata mencegah bencana. Contohnya
seperti kemaren adanya krisis ekonomi yang melanda Eropa, Amerika dan
Negara-negra maju. Masyarakat yang hidup bersahabat dengan alam dan mampu
menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki
dan dilakukan. Tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa
terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh
kehidupan modern. Seperti yang terjadi di Roma-Italy orang melakukan bunuh diri
di tempat umum karena mengaku tidak tahan akan himpitan ekonomi dampak krisis
tersebut (Kompas TV). Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan
dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan
sekaligus dapat melestarikan lingkungannya.
2. Perilaku
Manusia
Perilaku
manusia terhadap lingkungan disebabkan karena perilaku manusia dipengaruhi oleh
beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong dan persepsi, serta faktor
lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, seperti pada Gambar
1. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah faktor dasar, yang meliputi
pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Faktor
pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya dan strata sosial. Sebagai
faktor pendorong meliputi sentuhan media massa baik elektronik maupun tertulis,
penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sejauh mana penyerapan informasi
oleh seseorang tergantung dimensi kejiwaan dan persepsi terhadap lingkungan,
untuk selanjutnya akan direfleksikan pada tatanan perilakunya. (Su Ritohardoyo,
2006:51)
Selanjutnya
tatanan perilaku seseorang dapat digambarkan dalam suatu daur bagan, yaitu rangkaian
unsur hubungan interpersonal, sistem nilai, pola pikir, sikap, perilaku dan
norma (Ronald, 1988 dalam Su Ritohardoyo, 2006:52). Pada dasarnya manusia
sebagai anggota masyarakat sangat tergantung pada lahan dan tempat tinggalnya.
Di sini terdapat perbedaan antara lahan dan tempat tinggal. Lahan merupakan
lingkungan alamiah sedangkan tempat tinggal adalah lingkungan buatan (binaan).
Lingkungan binaan dipengaruhi oleh daur pelaku dan sebaliknya (Gambar 1 dan
2.).
B.
Pendekatan-Pendekatan
yang Dilakukan Dalam Belajar Kearifan Lokal
a. Politik
ekologi (Political Ecology)
Politik
ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk mengkaji sebab akibat perubahan
lingkungan yang lebih kompleks daripada sekedar sistem biofisik yakni
menyangkut distribusi kekuasaan dalam satu masyarakat. Pendekatan ini didasarkan
pada pemikiran tentang beragamnya kelompok-kelompok kepentingan, persepsi dan
rencana yang berbeda terhadap lingkungan. Melalui pendekatan politik ekologi
dapat untuk melihat isu-isu pengelolaan lingkungan khususnya menyangkut isu
“right to environment dan environment justice” dimana right merujuk pada
kebutuhan minimal/standarindividu terhadap obyek-obyek right seperti hak untuk
hidup, hak untuk bersuara, hak untuk lingkungan dan lain-lain. Adapun justice
menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas obyek-obyek right yaitu merujuk
pada persoalan-persoalan relasional antar individu dan antar kelompok (Bakti
Setiawan, 2006).
b. Human
Welfare Ecology
Pendekatan
Human Welfare Ecology menurut Eckersley, 1992 dalam Bakti Setiawan, 2006 menekankan
bahwa kelestarian lingkungan tidak akan terwujud apabila tidak terjamin
keadilan lingkungan, khususnya terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya. Maka
dari itu perlu strategi untuk dapat menerapkannya antara lain :
Strategi
pertama, melakukan perubahan struktural kerangka perundangan dan praktek
politik pengelolaan sumberdaya alam, khususnya yang lebih memberikan peluang
dan kontrol bagi daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses sumberdaya
alam (pertanahan, kehutanan, pertambangan, kelautan). Dalam hal ini lebih memihak
pada masyarakat lokal dan petani dan membatasi kewenangan negara yang terlalu
berlebihan (hubungan negara – capital – masyarakat sipil)
Strategi
kedua, menyangkut penguatan institusi masyarakat lokal dan petani.
c. Perspektif
Antropologi
Dalam
upaya untuk menemukan model penjelas terhadap ekologi manusia dengan perspektif
antropologi memerlukan asumsi-asumsi. Tasrifin Tahara dalam Andi M, Akhbar dan Syarifuddin
(2007) selanjutnya menjelaskan bahwa secara historis, perspektif dimaksudkan
mulai dari determinisme alam (geographical determinism), yang mengasumsikan
faktor-faktor geografi dan lingkungan fisik alam sebagai penentu mutlak
tipe-tipe kebudayaan masyarakat, metode ekologi budaya (method of cultural
ecology) yang menjadikan variabel-variabel lingkungan alam dalam menjelaskan
aspek-aspek tertentu dari kebudayaan manusia. Neofungsionalisme dengan asumsi
keseimbangan (equilibria) dari ekosistem-ekosietem tertutup yang dapat mengatur
dirinya sendiri (self-regulating system), materialisme budaya (cultural materialism)
dengan keseimbangan cost-benefit terlembagakan, hingga ekologi Darwinisme
dengan optimal fitness dalam respon atau adaptasi untuk “survival”.
d. Perspektif
Ekologi Manusia
Menurut
Munsi Lampe dalam Andi M, Akhbar dan Syarifuddin (2007) terdapat tiga perspektif
ekologi manusia yang dinilai relefan untuk aspek kearifan lokal, yaitu 1)
pendekatan ekologi politik, 2) pendekatan ekosistemik dan 3) pendekatan
konstruksionalisme.
1)
Pendekatan ekologi politik memusatkan studi pada aspek pengelolaan sumberdaya
milik masyarakat atau tidak termiliki sama sekali, dan pada masyarakat-masyarakat
asli skala kecil yang terperangkap di tengah-tengah proses modernisasi.
2)
Pendekatan ekosistemik melihat komponen-komponen manusia dan lingkungan sebagai
satu kesatuan ekosistem yang seimbang dan
3)
Paradigma komunalisme dan paternalisme dari perspektif konstruksionalisme.
Dalam hal ini kedua komponen manusia dan lingkungan sumberdaya alam dilihat
sebagai subyek-subyek yang berinteraksi dan bernegosiasi untuk saling
memanfaatkan secara menguntungkan melalui sarana yang arif lingkungan.
e. Pendekatan
Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan Konstekstual Progressif)
Model
ini lebih aplikatif untuk menjelaskan dan memahami fenomena-fenomena yang menjadi
pokok masalahnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan
model penjelasan yang empirik, menyediakan tempat-tempat dan peluang bagi
adopsi asumsi-asumsi dan konsep-konsep tertentu yang sesuai. Selanjutnya Vayda
dalam Su Ritohardoyo (2006:25) menjelaskan bahwa pendekatan kontekstual
progressif lebih menekankan pada obyek-obyek kajian tentang :
1)
aktivitas manusia dalam hubungan dengan lingkungan
2)
penyebab terjadinya aktivitas dan
3)
akibat-akibat aktivitas baik terhadap lingkungan maupun terhadap manusia
sebagai pelaku aktivitas.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kearifan
Lokal di Desa Rahtawu
Di
daerah sekitar Gunung Muria, salah satunya Desa Rahtawu-Kudus. Kearifan lokal
masih berusaha dipertahankan masyarakat disana. Adalah dengan sukuran dan
selamatan atau mengkeramatkan suatu tempat seperti punden dan hutan keramat.
Menurut
Bukari (53 Tahun), Juru kunci Petilasan Abiyoso, Kepercayaan disini (Rahtawu) masih
sangat dijunjung tinggi. Di Gunung Pojok daerah Wetan Kali dipercaya warga menjadi
hutan yang keramat. Disana ada sebuah batu yang dinamakan warga sebagai Watu
Bandot. Batu tersebut seluruhnya dililit oleh akar dari pohon besar yang berada
disana. Dan dipercaya di Watu Bendot ada penunggunya yang berupa ular gaib
(badan ular-kepala manusia ), penunggu wilayah itu. Warga tidak ada yang berani
untuk menebang pohon yang berada disana (hutan), takut terjadi musibah (data;
MRC Indonesia, 15 Mei 2012).
Dari
hasil wawancara diatas dapat ditarik kesimpulan, nenek moyang kita mengetahui
betul dampak bencana apabila terjadi perambahan hutan dan pengerukan sumberdaya
alam secara membabi buta. Makanya leluhur membuat mitos atau mengkeramatkan
suatu tempat-tempat yang menjadi pondasi alam, agar terjadi keseimbangan. Pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, yang tertera dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan sumberdaya
alam disebutkan dalam ayat 10 mencakup sumberdaya alam hayati maupun non hayati
dan sumberdaya buatan.
Masyarakat
tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya.
Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah
lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai
cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Masyarakat pedusunan
memiliki keunikan khusus seperti kesederhanaan, ikatan emosional tingi,
kesenian rakyat dan loyalitas pada pimpinan kultural seperti halnya
konsep-konsep yang berkembang di pedusunan sebagai seluk beluk masyarakat jawa
seperti dikemukakan oleh Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono (2008:40-41) akan
pemahamannya pada:
1)
Gusti Allah
2)
Ingkang Akaryo jagad
3)
Ingkang Murbeng Dumadi
4)
Hyang Suksma Adiluwih
5)
Hyang maha Suci
6)
Sang Hyang Manon
7)
Agama Ageman Aji, dan
8)
Kodrat Wiradat
Semua
itu menjadi pedoman bagi orang Jawa dalam berperilaku, sehingga selalu
mempertimbangkan pada besarnya Kekuasaan Gusti Allah dan harus menjaga apa saja
yang telah diciptakannya. Di samping itu dalam berperilaku orang akan
berpedoman pada berbagai macam hal yang pada hakekatnya mempunyai nilai baik
dan buruk serta pada kegiatan yang didasarkan pada benar dan salah (Brennan,
Andrew, Lo, Yeuk-Sze, 2002).
BAB IV
SIMPULAN
A. Menurut Nababan (1995)
Dalam
kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal
itu, maka Nababan (1995) mengemukaka prinsip-prinsip konservasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai berikut :
1.
Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia dengan alam
sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang
dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri
2.
Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis
sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property
resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan
sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
3.
Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang memberikan
kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.
4.
Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat
(input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat.
5.
Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan
sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat
sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat
tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek
kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu.
6.
Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik bersama
yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional.
Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau
penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
ü Jatna
Supriatna, 2008. Melestarikan Alam
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
ü Francis
Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan
Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas
ü Nababan,
1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Di Indonesia. Jurnal
Analisis CSIS : Kebudayaan, Kearifan
Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV No. 6 Tahun 1995
ü Nasruddin
Anshoriy dan Sudarsono, 2008. Kearifan
Lingkugan, Dalam Perspektif Budaya Jawa. Yayasan Obor Indonesia
ü Rimbo
Gunawan, Juni Thamrin dan Endang Suhendar, 1998. Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat. Bandung
ü Sunarko
dan Eddy Kristiyanto, 2008. Menyapa Bumi
Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Kanisius
ü Suhartini.
Jurnal: Kajian Kearifan Lokal Masyarakat
Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Jurusan Pedidikan Biologi
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
ü Data;
MRC Indonesia, 15 Mei 2012. di Desa Rahtawu-Kudus.
If you're attempting to lose weight then you absolutely need to try this brand new personalized keto diet.
BalasHapusTo create this service, certified nutritionists, fitness trainers, and top chefs united to provide keto meal plans that are effective, decent, cost-efficient, and fun.
From their grand opening in early 2019, 1000's of clients have already remodeled their figure and well-being with the benefits a good keto diet can provide.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-tested ones given by the keto diet.