PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Kepribadian
Istilah
kepribadian dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan personality. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani, yaitu persona, yang berarti topeng dan personare,
yang artinya menembus. Istilah topeng berkenaan dengan salah satu atribut yang
dipakai oleh para pemain sandiwara pada jaman Yunani kuno. Dengan topeng yang
dikenakan dan diperkuat dengan gerak-gerik dan apa yang diucapkan, karakter
dari tokoh yang diperankan tersebut dapat menembus keluar, dalam arti dapat
dipahami oleh para penonton. Dari sejarah pengertian kata personality tersebut,
kata persona yang semua berarti topeng, kemudian diartikan sebagai pemaiannya
sendiri, yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng tersebut. Dan
sekarang ini istilah personality oleh para ahli dipakai untuk menunjukkan suatu
atribut tentang individu, atau untuk menggambarkan apa, mengapa, dan bagaimana
tingkah laku manusia.
Kepribadian
menurut Gordon W.W. Allport. Pada mulanya Allport mendefinisikan kepribadian
sebagai “What a man really is.” Tetapi definisi tersebut oleh Allport dipandang
tidak memadai lalu dia merevisi definisi tersebut (Soemadi Suryabrata,
2005:240). Definisi yang kemudian dirumuskan oleh Allport adalah: “Personality
is the dynamic organization within the individual of those psychophysical
systems that determine his unique adjustments to his environment” (Singgih
Dirgagunarso, 1998 : 11). Pendapat Allport di atas bila diterjemahkan menjadi :
Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis
yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
David
Krech dan Richard S. Crutchfield (1969) dalam bukunya yang berjudul Elelemnts of
Psychology merumuskan definsi kepribadian sebagai berikut : “Personality is the
integration of all of an individual’s characteristics into a unique organization
that determines, and is modified by, his attemps at adaption to his continually
changing environment.” (Kepribadian adalah integrasi dari semua karakteristik
individu ke dalam suatu kesatuan yang unik yang menentukan, dan yang dimodifikasi
oleh usaha-usahanya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah
terus-menerus).
PEMBAHASAN
A.
Tokoh-tokoh
Kepribadian II
1.
Kurt
Lewin
Kurt Lewin
(1890-1947) kelahiran Prussia Timur (sekarang Polandia) adalah seorang
psikologis eksperimental yang terkenal di University of Berlin yang melarikan
diri sebagai pengungsi dari regim Hitler. Ia kemudian menjadi seorang
psikologis sosial di Amerika dan mempelopori eksperimen klasik dalam komunikasi
kelompok. Pada awalnya Lewin adalah seorang psikologi individualistik kemudian
berubah menjadi psikologi sosial pada komunikasi kelompok kecil. Dan Lewin
tercatat sebagai pendiri riset dan pelatihan di dinamika kelompok dan untuk
menciptakan gaya manajemen partisipatif dalam organisasi.
a.
Teori
Kepribadian Kurt Lewin
Ciri-ciri
utama dari teori Lewin, yaitu :
1)
tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah laku
itu terjadi
2)
Analisis dimulai dengan situasi keseluruhan dimana bagian-bagian komponennya
dipisahkan
3)
Orang yang kongkret dalam situasi yang kongkret dapat digambarkan secara
matematis.
Perilaku manusia
adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving
forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku ini dapat
berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut
didalam diri seseorang (Kurt Lewin, 1970). Ada 3 kemungkinan terjadinya
perubahan perilaku pada diri seseorang itu, yakni: kekuatan-kekuatan pendorong
meningkat, kekuatan-kekuatan penahan menurun, kekuatan pendorong meningkat,
kekuatan penahan menurun.
b.
Konsep
Kepribadian Kurt Lewin
Konsep-konsep
teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai gejala psikologis dan
sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak , masa adolesent ,
keterbelakangan mental , masalah-masalah kelompok minoritas,
perbedaan-perbedaan karakter nasional dan dinamika kelompok. Dalam makalah ini,
kita akan memusatkan perhatian pada teori Lewin tentang struktur, dinamika dan
perkembangan kepribadian yang dikaitkan dengan lingkungan psikologis, karena
orang-orang dan lingkungannya merupakan bagian-bagian ruang kehidupan (life
space) yang saling tergantung satu sama lain. Life space digunakan Lewin
sebagai istilah untuk keseluruhan medan psikologis. Terakhir kita akan membahas
evaluasi konsep kepribadian dari Kurt Lewin.
Lewin
menggambarkan manusia sebagai pribadi berada dalam lingkungan psikologis,
dengan pola hubungan dasar tertentu. Dengan cara ini , Lewin berusaha mematematisasikan
konsep-konsepnya sejak dari permulaan. Matematika Lewin menggambarkan
hubungan-hubungan spasial dengan istilah-istilah yang berbeda. Pada dasarnya
matematika Lewin merupakan jenis matematika untuk menggambarkan interkoneksi
dan interkomunikasi antara bidang-bidang spasial dengan tidak memperhatikan
ukuran dan bentuknya.
Menurut
Lewin, hakekat Perkembangan Kepribadian itu adalah:
1).
Diferensiasi, yaitu semakin bertambah usia, maka region-region dalam pribadi
seseorang dalam LP-nya akan semakin bertambah. Begitu pula dengan kecakapan
kecakapan/ keterampilan keterampilannya. Contoh : orang dewasa lebih pandai
menyembunyikan isi hatinya daripada anak-anak (region anak lebih mudah
ditembus).
2).
Perubahan dalam variasi tingkah lakunya
3).
Perubahan dalam organisasi dan struktur tingkah lakunya lebih kompleks.
4).
Bertambah luasnya arena aktivitas individu, contoh: Anak kecil terikat oleh
masa kini sedangkan orang dewasa terikat oleh masa kini, masa lampau dan masa
depan.
5).
Perubahan dalam realitas. Dapat membedakan mana yang khayal dan yang nyata,
pola berpikir meningkat ,contohnya dari pola berpikir assosiasi menjadi pola
berpikir abstrak.
2.
Abraham
Maslow
Abraham Harold
Maslow adalah anak pertama dari ketujuh bersaudara. Ia lahir di Brooklyn, New
York, pada tanggal 1 april 1908. Orang tuanya seorang imigran yahudi,
berkebangsaan Rusia yang pindah ke Amerika Serikat dengan harapan memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Atas perintah orang tuanya, Maslow belajar hukum
City College of New York (CCNY). Namun, setelah tiga semester, dia pindah ke
Cornell lalu kembali lag ke CCNY. Dia menikah dengan sepupunya, Bertha Goodman,
namun pernikahan ini bertentangan dengan keinginan orang tuanya, mereka
dikarunia dua orang putri.
- Teori Kepribadian
Abraham Maslow
Menurut Maslow
bahwa banyak tingkah laku manusia yang bisa diterangkan dengan memperhatikan
tendensi individu untuk mencapai tujuan-tujuan personal yang membuat kehidupan
bagi individu yang bersangkutan penuh makna dan memuaskan. Menurutnya kepuasaan
itu bersifat sementara yaitu jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka
kebutuhan-kebutuhan yang lainnya akan muncul menuntut kepuasaan, begitu
seterusnya. Berdasarkan peristiwa tersebut oleh Maslow kebutuhan
manusia yang tersusun bertingkat itu dirinci ke
dalam lima tingkat kebutuhan, yakni:
a). kebutuhan Fisiologis
Adalah
sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan
langsung dengan pemeliharaan biologs dan kelangsungan hidup. Kebutuhan ini
merupakan pendorong dan pemberi pengaruh yang kuat atas tingkah laku manusia,
dan manusia akan selalu berusaha memuaskannya sebelum memuaskan
kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi.
b).
Kebutuhan Rasa Aman
Adalah sesuatu
kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan
keteraturan dari keadaan lingkuangannya.
c).
Kebutuhan Cinta dan Memiliki
Adalah suatu kebutuhan
yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional
dengan individu lain, baik dengan sesame jenis maupun dengan yang berlainan
jenis, di lingkungan keluarga ataupun di lingkungan kelompok di masyarakat.
d).
Kebutuhan Rasa Harga Diri
Oleh Maslow kebutuhan
ini dibagi menjadi 2 yaitu penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri dan
bagian yang ke dua adalah penghargaan dari orang lain. Bagian pertama menckup
hasrat untuk memperoleh kompetensi, rasa percya diri, kekuatan pribadi,
adekuasi, kemandirian, dan kebebasan. Adapun bagian yang kedua meliputi antara
lain prestasi. Dalam hal ini individu butuh penghargaan atas apa-apa yang
dilakukannya.
e).
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan untuk
mengungkapkan diri atau aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang
paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan ini akan muncul apabila
kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah terpuaskan dengan baik.
Disamping kelima
ajaran dasar diatas, Maslow juga menyebutkan lima kebutuhan, yaitu: kebutuhan
Fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan memiliki,
kebutuhan akan rasa harga diri, dan yang paling puncak adalah kebutuhan akan
aktualisasi diri.
3.
Carl
Rogers
Carl Roger lahir
8 Januari 1902 – 4 Pebruari 1987 putra ke 4 dari 6 bersaudara lahir
di Illinois dan sejak kecil menerima penanaman yang ketat mengenai kerja keras
dan nilai agama Protestan.. Dibesarkan dari keluarga kalangan berada yang
tinggal didaerah pertanian. Sehingga membawa minatnya pada ilmu alam , namun
dikemudian ia mulai berkenalan dengan Psikologi Klinis. Terkenal dengan terapi
yang berpusat pada klien (Clien Centered Therapy) dan Carl Rogers lebih
menekankan pendekatan Fenomenologis dalam memandang kepribadian manusia. Mengemukakan
19 rumusan hakekat pribadi Fenomenologis.
- Teori Kepribadian
Carl Rogers
Rogers lebih
mementingkan dinamika dari pada struktur kepribadian. Namun demikian ada tiga
komponen yang dibahas bila bicara tentang struktur kepribadian menurut Rogers,
yaitu : organisme, medan fenomena, dan self. Rogers menyatakan bahwa self
berkembang secar utuh-keseluruhan, menyentuh semua bagian-bagian. Berkembangnya
self diikuti oleh kebutuhan penerimaan positif, dan penyaringan tingkah laku
yang disadari agar tetap sesuai dengan struktur self sehingga dirinya
berkembang menjadi pribadi yang berfungsi utuh.
- Struktur
Kepribadian Menurut Carl Rogers
a.
Organime, mencakup :
1.
Makhluk hidup
Organisme
adalah makhluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya, tempat semua
pengalaman dan segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadar
setiap saat.
2.
Realitas subjektif
Organisme
menanggapi dunia seperti yang diamati atau dialaminya. Realita adalah medan
persepsi yang sifatnya subjektif, bukan benar-salah.
3.
Holisme
Organisme
adalah kesatuan sistem, sehingga perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi
bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi atau bertujuan, yakni tujuan
mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
b.
Medan fenomena (Phenomenal field)
Rogers mengartikan
medan fenomena sebagai keseluruhan pengalaman, baik yang internal maupun
eksternal, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Medan fenomena
merupakan seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya.
Beberapa
diskripsi yang menjelaskan pengertian Medan Fenomena :
a) Pengalaman
internal (persepsi mengenai diri sendiri), pengalaman eksternal (persepsi
mengenai dunia luar);
b) Meliputi
pengalaman yang disimbolkan (symbolized) merupakan pengalaman disadari,
Pengalaman yang disimbolkan tetapi diingkari atau terdistorsi (denied or
distorted) merupakan pengalaman disadari, Pengalaman yang tidak disimbolkan
atau diabaikan (ignored) merupakan pengalaman tidak disadari.
c) Semua
persepsi bersifat subyektif, benae bagi dirinya sendiri,
d) Medan
fenomena seseorang tidak dapat diketaui oleh orang lain, kecuali melalui
melihat dari sudut pandang mereka (internal frame of reference)
c.
Self
Self
merupakan konsep pokok dari teori kepribadian Rogers, yang intinya adalah :
a)
terbentuk melalui medan fenomena dan melalui introjeksi nilai-nilai orang
tertentu;.
b)
bersifat integral dan konsisten;
c)
menganggap pengalaman yang tak sesuai dengan struktur self sebagai ancaman;
d)
dapat berubah karena kematangan dan belajar.
Pribadi yang
berfungsi utuh menurut Rogers adalah individu yang memakai kapasitas dan
bakatnya, merealisasi potensinya, dan bergerak menuju pemahaman yang lengkap
mengenai dirinya sendiri dan seluruh rentang pengalamannya.
4.
Jen
dari Hsu
Dikemukakan oleh
Francis L.K Hsu seorang warga negara USA keturunan Cina. Seorang sarjana
filsafat, antropologi, kesusastraan Cina klasik, dan Psikologi. Menyusun konsep
kepribadian Timur sebagai alternatif dari konsep kepribadian Psikologi Barat. Teorinya
disebut Jen, Jen berasal dari sastra Cina yang berarti “Manusia yang berjiwa
selaras, manusia yang berkepribadian”. Jen untuk menganalisis jiwa masyarakat
timur, antara lain: Cina, Jepang, Asia termasuk Indonesia.
- Teori Kepribadian
Jen dari Hsu
Struktur kepribadian
digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran yang konsentris yang menggambarkan
kehidupan jiwa manusia. Bermaksud menganalisis jaringan terkait antara jiwa
manusia dan lingkungan sosial budaya nya. Hsu menggambarkan lingkungan
kepribadian manusia ada 8 lingkaran yang konsentris. Seperti dibawah ini;
Gbr. Lingkaran Konsentris
Penjelasan
Gambar:
7:
Lingkaran lapisan tidak sadar
6:
Lapisan bawah sadar
5:
Lapisan kesadaran yang tidak dinyatakan
4:
Lapisan kesadaran yang dinyatakan
3:
Lapisan hubungan akrab atau karib
2:
Lapisan hubungan yang berguna
1:
Lapisan hubungan jauh
0:
Lapisan hubungan luar
Kesimpulan dari
teori Jen dari Hsu adalah manusia yang berkepribadian adalah manusia yang dapat
menjaga keseimbangan hubungan antara diri kepribadiannya dengan lingkungan
sekitarnya. Terutama lingkungan yang terdekat kepada siapa kita mencurahkan
rasa cinta, kemesraan, dan baktinya.
5.
Yoga
Ajaran Yoga
dibangun oleh Maharsi Pantjali,dan merupakan ajaran yang sangat popular di
kalangan umat Hindu. Ajaran Yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari
ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu
bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa).
Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian
gerak pikiran.
Yoga dari Bahasa
Sansekerta yang berarti ”penyatuan”,
yang bermakna ”penyatuan dengan alam” atau ”penyatuan dengan Sang Pencipta”.
Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam ”Filsafat Hindu”, yang
menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau tapa di mana seseorang memusatkan
seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara
keseluruhan.
- Kitab Bagawadgita
terdiri dari 18 bab, yaitu:
BAB
I Arjuna Wisada Yoga (Meninjau tentara-tentara di medan perang Kurukshetra).
BAB
II Ringkasan isi Bhagavad-gita, menguraikan tentang Arjuna menyerahkan diri
sebagai murid kepada Sri Kresna, kemudian Kresna memulai pelajaran-Nya kepada
Arjuna dengan menjelaskan perbedaan pokok antara badan jasmani yanag bersifat
sementara dan sang roh yang bersifat kekal.
BAB
III Karma Yoga, menguraikan mengenai semua orang harus melakukan kegiatan di
dunia ini. Tetapi perbuatan dapat mengikat diri seseorang pada dunia ini atau
membebaskan dirinya dari dunia.
BAB
IV Jnana Yoga, menguraikan pencapaian yoga melalui pengetahuan
rohani-pengetahuan rohani tentang sang roh, Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan
antara sang roh dan Tuhan-menyucikan dan membebaskan diri manusia.
BAB
V Karma Yoga, Perbuatan dalam kesadaran Krishna, orang yang bijaksana yang
sudah disucikan oelha api pengetahuan rohani.
BAB
VI Dhyana Yoga, menguraikan tentang astanga yoga, sejenis latian meditasi
lahiriah, mengendalikan pikiran dan indria-indria dan memusatkan perhatian
kepada Paramatma (Roh Yang Utama, bentuk Tuhan yang bersemayam di dalam hati).
BAB
VII Pengetahuan tentang Yang Mutlak, Sri Krishna adalah Kebenaran Yang Paling
Utama, Penyebab yang paling utama dan kekuatan yang memelihara segala sesuatu,
baik yang material maupun rohani.
BAB
VIII Cara Mencapai Kepada Yang Mahakuasa, Seseorang dapat mencapai tempat
tinggal Krishna Yang Paling Utama, di luar dunia material, dengan cara ingat
kepada Sri Krishna dalam bhakti semasa hidupnya, khususnya pada saat meninggal.
BAB
IX Raja Widya Rajaguhya Yoga (Pengetahuan Yang Paling Rahasia)
BAB
X Wibhuti Yoga, Kehebatan Tuhan Yang Mutlak, menguraikan mengenai sifat hakikat
Tuhan yang absolut/mutlak.
BAB
XI Wiswarupa Darsana Yoga, Bentuk Semesta, menguraikan tentang Sri Krishna
menganugrahkan pengelihatan rohani kepada Arjuna.
BAB
XII Bhakti Yoga, Pengabdian Suci Bhakti, menguraikan tentang cara yoga dengan
bhakti.
BAB
XIII Ksetra Ksetradnya Yoga, Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan Kesadaran,
menguraikan hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hubungan dengan purusa dan
prakrti.
BAB
XIV Guna Traya Wibhaga Yoga, Tiga Sifat Alam Material, membahas Triguna (tiga
sifat alam material) - Sattvam, Rajas dan Tamas.
BAB
XV Purusottama Yoga, menguraikan beryoga pada purusa yang Maha Tinggi, Hakikat
Ketuhanan.
BAB
XVI Daiwasura Sampad Wibhaga Yoga, membahas mengenai hakikat tingkah-laku
manusia, sifat rohani dan sifat jahat.
BAB
XVII Sraddha Traya Wibhaga Yoga, menguraikan mengenai golongan-golongan
keyakinan.
BAB
XVIII Moksa Samnyasa Yoga, Kesempurnaan pelepasan ikatan, merupakan kesimpulan
dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan agama yang tertinggi.
Karma Yoga,
berisi khotbah Kresna kepada Arjuna yang menguraikan Filsafat Hindu mengenai Karma
(perbuatan; kewajiban) dan Phala (hasil; buah). Arjuna berkata: ”Yadnya –
melakukan pekerjaan tanpa mengikatkan diri, dengan ikhlas dan untuk Tuhan”.
Panca Yadnya diantaranya yaitu: Dewa Yadnya, yaitu yadnya pada Tuhan. Rsi
Yadnya, yaitu mengajar dan membaca kitab suci, sebagai yadnya pada Rsi. Pitra
Yadnya, yakni pemberian kepada leluhur. Manusa Yadnya, yaitu memberi
pertolongan/makanan kepada orang-orang memerlukan bantuan, miskin, serta
upacara dari lahir sampai mati. Bhuta Yadnya, yakni memelihara dan memberikan
makanan pada binatang-binatang.
6.
Abidhamma
Abhidamma
berkembang di india pada abad ke 15 yang lalu. Abhidamma berarti ajaran pokok
yang menguraikan wawasan – wawasan asli dari budha gautama tentang kodrat
manusia. Dalam Abhidamma kata “kepribadian” serupa dengan diri menurut konsep
barat. Bedanya, asumsi dasar Abhidamma tidak ada diri yang kekal. Menurut Abhidamma kepribadian manusia
sama seperti sungai yang memiliki bentuk tetap (tidak ada orang yang mengamati
mampu terlepas dari persepsi). Dalam Abhidamma kata “kepribadian” serupa dengan
diri menurut konsep barat. Bedanya, asumsi dasar Abhidamma tidak ada diri yang
kekal. Menurut Abhidamma kepribadian manusia sama seperti sungai yang memiliki
bentuk tetap (tidak ada orang yang mengamati mampu terlepas dari persepsi).
a.
Teori
Kepribadian Abidhamma
Objek psikologi
abhidamma meliputi; penginderaan dari panca indera, pikiran-pikiran yang
dianggap sebagai indera keenam, setiap keadaan jiwa terdiri atas sekumpulan
sifat-sifat jiwa (yang disebut faktor-faktor jiwa), dan sifat-sifat jiwa ini (misal
cinta, benci, adil, bengis, social).
Mengenai faktor-faktor jiwa dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yakni:
1. Kusula : berarti murni, baik,
sehat.
2. Akusula : berarti tidak murni,
tidak baik, tidak sehat
Menurut ajaran
abhidamma tipe –tipe kepribadian menurut Abhidhamma, secara langsung diturunkan
dari prinsip bahwa faktor-faktor jiwa muncul dalam kekuatan yang berbeda-beda.
Tipe-tipe manusia dalam buku
Visudhimagga adalah sebagai berikut:
1. Tipe orang suka kenikmatan:
Berpenampilan menarik; sopan dan menjawab dengan hormat jika disapa.
2. Tipe orang pembenci: Berdiri
dengan kaku, tempat tidur dibereskan dengan serampangan.
3. Tipe Orang delusi: Pakaiannya
compang-camping, benangnya berseliweran, kasar seperti rami, berat dan tidak enak
dipakai.
Abhidama
merupakan aliran dari faham budha Gautama yang berkembang menjadi aliran mahaya
dan hinaya , aliran ini lebih menekankan pada psikologi kepribadian yang ada
pada manusia baik dari segi sifat, karakter, kondisi kejiwaan manusia.abhidamma
menguraikan wawasan asli dari Buddha Gautama tentang kodrat manusia dan
abhidamma merupakan inti dari berbagai cabang Buddhisme.
7.
Sufisme
Tasawuf
(Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui
bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin,
untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan
zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan
tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan
dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa
tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi
ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
Ada beberapa
sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah
kata itu berasal dari Suf (صوف),
bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para
asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol.
Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini
menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa
etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat
Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"),
yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan
waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
a.
Kepribadian
Menurut Sufisme
Metafisikatradisional
mempunyai teori yang jelas mengenai kepribadian. Kepribadian manusia, menurut
tradisi islam, mengandung tiga aspek: ruh (rûh), hati (qalb), dan jiwa (nafs).
Harus dibuat perbedaan menyangkut hal berikut ini:
1) al-nafs
al-hayawaniyyah (jiwa hewan), jika yang secara pasif tunduk pada hasrat-hasrat
alamiah;
2) al-nafs
al ammarah (jiwa yang memerintah), jiwa yang menuruti hawa nafsu dan egois;
3) al-nafs
al-lawwamah (jiwa yang menyalahkan), jiwa yang sadar akan
kekurangan-kekurangannya sendiri; dan
4) an-nafs
al-muthma’innah (jiwa yang damai), jiwa
yang menyatu kembali kedalam ruh dan tenang dalam kepastian. Tiga ungkapan yang
terakhir itu berasal dari Al-Quran.
Pandangan mengenai
kepribaadian ini telah dijelaskan oleh berbagai otoritas sufi. Misalnya, M.
Asyraf ‘Ali Tsanvi, dalam karyanya Bawadil Al-Nawadir, telah menyajikan uraian
yang sangat jelas mengenai proses dan tahapan pikiran manusia. Pikiran melewati
lima tahapan sebelum ia menjadi sebuah keputusan. Tahapan pertama (hajis) adalah tahapan pemikiran sekilas. Tahapan
kedua [khathir] adalah tahapan ketika pikiran bertahan selama beberapa waktu.
Tahapan ketiga adalah hadist al-nafs, dialog batin yang dilakukan ego dengan
“jiwa” nafs-nya. Tahapan keempat [hamm] tercapai ketika sudah ada kesiapan
untuk mengambil keputusan , dan tahapan kelima ‘azm adalah tingkat keputusan
yang tercipta dengan sendirinya. Dari sudut penyakit mental, tahap ketiga
merupakan tahapan yang paling penting. Ia adalah tahapan verbalisasi batin atau
mungkin subvokalisasi, dan jika seseorang terus-menerus berbicara dengan
dirinya sendiri, maka akan timbul gangguan mental. Tahapan-tahapan batin ini
telah dijelaskan oleh seorang sufi Darqawi, Syaikh habib, dari Tetuan, sebagai
“impulsimpuls pikiran”. Dia berkata, “waspadalah terhadap tipuan dari
impuls-impuls pikiran; impuls-impuls itu melemahkan nasihat yang baik dan
sering berdusta.”
Hati tidak boleh
dicampuradukkan dengan hati yang lain yang bersifat fisik, emosi-emosi atau
pikiran manusia. Kiranya relevan jika disini ada kutipan F. Schuon, yang telah
memberi penjelasan sangat bagus mengenai fungsi-fungsi hati yang dikaitkan
dengan akal dan intuisi intelektual. Dia berkata: “Genius intelektual tidak
boleh dicampuradukkan dengan ketajaman mental menurut para ahli logika. Intuisi
intelektual pada dasarnya terdiri dari daya kontemplatif yang sama sekali tidak
mungkin masuk ke dalam kapasitas rasional, karena yang disebut terakhir itu
lebih bersifat logis dari pada kontemplatif. Ia merupakan daya yang mampu
menerima cahaya. Itulah yang membedakan kecerdasan transenden dari akal”. Untuk
memahami godaan terus-menerus yang ditimbulkan oleh nafs, perlu digali lebih
dalam makna hati dan hakikatnya.
8.
Kramadangsa
Nama Ilmu Jiwa
Kramadangsa diambil dari buku yang diberi judul demikian. Buku tersebut
merupakan bahan ceramah Ki Ageng Soerjomentaram bersama Ki Pronowowidigdo di
Yayasan Hidup Bahagia di Jakarta pada tahun 1959. Namun keseluruhan dari
wejangan-wejangan Ki Ageng yang semula diberi nama “Kawruh begja”atau Kawruh
Jiwa”. Kramadangsa adalah sekedar nama. Istilah ini dimaksud oleh Ki Ageng
sebagai rasa pribadi yang identik denagn namanya sendiri.
a.
Dinamika
Kepribadian Kramadangsa
Tiga pokok penting akan dicoba
diuraikan di bawah ini yang pertama adalah tentang rasa, yang kedua tentang Aku
(Kramadangsa), serta ketiga mawas diri.
1. Rasa
“Wong Jawa iku
nggone rasa,” demikian sebuah ungkapan yang sangat dikenal di kalangan
masyarakat Jawa. Suseno (1983) menjelaskan;
‘Dalam bahasa aslinya, yaitu
Sansekerta, “rasa” mempunyai berbagai arti. Arti pokoknya ialah “air” atau “sari”
buah-buahan atau tumbuhan. Dari situ rasa lalu berarti pengecapan (taste), perasaan
(perasaan cinta, marah, belas kasihan,
kemesraan); lalu rasa juga berarti “inti”, “suara suci OM” yang adalah
pernyataan kodrat ilahi. Bagi para
pujangga rasa berarti kenikmatan terdalam (delight, charm) sedangkan rasa dari
suatu karya sastra ialah “inti dasarnya yang halus dan dalam” (keynote).’
Dalam
kepustakaan Jawa, agaknya rasa dipahamkan sebagai substansi atau zat yang
mengalir alam sekalir artinya ia berupa pertemuan antara jagad gedhe dan jagad
cilik. Terkadang ia muncul sebagai daya hidup.
Sementara Ki
Ageng Soerjomentaram sendiri berpendapat, bahwa hanya dengan jalan
mentransendensasikan rasa bertentangan inilah manusia dapat mengembangkan rasa
yang lebih tinggi, yakni rasa bebas. Ki Ageng juga berpendapat bahwa orang baru
merasa ‘ada’ apabila ia berhubungan dengan orang lain, dengan benda atau
rasanya sendiri.
Rasa
bertindak-tanduk dalam gagasan dan pikiran, misalnya rasa marah akan
menimbulkan pikiran untuk mencelakakan orang lain. Rasa unggul muncul dalam
gagasan untuk ngaya-aya mencari drajat, semat, keramat. Rasa Kramadangsa adalah
rasa namanya sendiri, ketika seseorang dipanggil menurut namanya.
Kita mengenal hirarki rasa, muali
dari yang paling wadhag, berhubungan dengan badan kasar, badan halus, dan roh.
Demikianlah kita kenal:
1) Rasa
Pangrasa, yakni rasa badan wadhag, seperti yang dihayati seseorang melalui
indranya: rasa pedas, manis, gatal dsb. Juga rasa yang hadir kebadan seseorang,
seperti misalnya rasa sakit, rasa enak.
2) Rasa
Rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, rasa grahita, misalnya ketika seseorang
menyatakan bahwa Kramadangsa telah “ngrumangsani kaluputane” atau “rumansa
among titah, Kramadangsa among saos sukur”.
3) Rasa
Sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan rasa dirasakan.
Sudah manunggal, tetapi masih disebut. Rasa damai, rasa bebas dll.
4) Sejatining
Rasa, yakni Rahsa, yang berarti hidup itu sendiri abadi.
2. Aku, Kramadangsa.
Kita lihat bahwa
kepribadian manusia Jawa terutama dibetuk dari interaksinya dengan lingkungan
luar (kenyataan), serta lingkungan dalam (kasunyatan). Sementara Reksosusilo
(1983) menunjukan bahwa ‘aku’nya orang Jawa tidak pernah tunggal individual. Kramadangsa
adalah nama orang. Ilmu Jiwa Kramadangsa adalah ilmu jiwa mengenai orang yang
bernama Kramadangsa. Kita sendiri adalah orang; jadi mempelajari Ilmu Jiwa
Kramadangsa adalah mempelajari diri sendiri.
Manusia adalah
juru catat. Melalui panca indera ia menciptakan segala macam kenyataan dalam
rasanya. Peran sebagai juru catat adalah peranan dalam ukuran kesatu.
Catatan-catatan ini hidup apabila mendapat perhatian dari si juru catat. Dari
catatan-catatan ini muncul rasa “Kramadangsa”, rasa aku dengan namanya sendiri.
Karamadangsa
mengawasi tindak-tanduknya sendiri. Dalam perhubungan dengan orang lain, orang
merasakan perasaan orang lain dalam rasanya sendiri. Kramadangsa perlu
membedakan rasanya sendiri, dengan rasa orang lain. Orang adalah barang asal.
Sebagai barang asal, ia adalah juru catat pengalamna-pengalamanya. Dalam
bangunan asal ini, ada “ada” yang pra-personal, terkadang disebut pra-self.
Rasa aku dilahirkan dari rasa catatan-catatan ini, baik jumlah, ragam maupun
susunannya.
Sehingga dalam
diri manusia ada dua kau, yakni aku tak tetap dan aku tetap. Aku tak tetp ini
mengahdirkan diri sesuai dengan keinginan-keinginannya. Aku tetap adalah aku
universal, yang telah bebas dari catatan-catatannya sendiri bahkan bisa
mengawasi diri sendiri. Manusia tanpa cirilah yang menjadi sebab kenapa manusia
mampu membebaskan diri dari keinginan-keinginan yang tanpa batas.
3. Mawas Diri
Mawas diri telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari kebudayaan Jawa, baik dalam
tradisi mitis maupun etis. Sekalipun perlu diingat bahwa hampir semua
kepustakaan Jawa keterkaitan antara tradisi etis dan mistis adalah sangat erat.
Mawas Diri adalah tahap integrasi diri di mana egoisme dan egosentrisme diganti
dengan sepi ing pamrih (Rahmat Subagyo, 1983)
Mawas diri pada
dasarnya adalah meneliti rasa sendiri. Apabila meneliti diri sendiri sampai
tuntas, maka orangakan mencapai manusia tanpa ciri. Mawas diri adalah kegiatan
manusia dalam dataran psikologi, menembus ke dataran religius etis. Mawas diri
dimulai dengan meneliti rasa senang dan rasa susahnya sendiri; yakni rasa orang
dalam perhubungannya dengan benda, orang lain serta gagasan.
Secara khusus,
mawas diri dilaksanakan dalam hubungan Kramadangsa dengan orang lain. Dengan
meniliti rasa sendiri, rasa orang lain dalam rasanya sendiri, orang akan dapat
memilahkan rasanya sendiri dengan rasa orang lain. Terkadang dalam
usahanya mawas diri juga mengalami
hambatan. Pamrih untuk mencampai kesempurnaan dalam hidup, justru menjadi
hambatan utamanya. Terkadang dalam usaha untuk menjadi sempurna, orang sering
tergoda untuk memperoleh ilham, wahyu, atau anugerah lain yang membuat ia
menjadi sempurna.
Sebenarnya tidak
semua mawas diri punya bau mistik yang keras. Kitab jayengbaya dari Ki
Sarataka, nama Raden Ngabehi Ronggowarsito semasa muda, dengan penuh humor
melakukan mawas diri. Ia membayangkan diri menjadi orang lain,
menimbang-nimbang susah-senangnya, sampai akhirnya dia sampai pada kesimpulan bagaimanapun
juga lebih enak jadi diri sendiri.
Mawas diri telah
menjadi bagian dari akal sehat masyarakat Jawa untuk masa yang lama. Dalam
kepustakaan Kebatinan, istilah ini juga dikenal sangat luas. Brataksewa (lihat
Darminta, 1980), misalnya menytakan adanya tingkatan-tingkatan kualitas
pengkajian diri ini:
1) Nanding
sarira, di mana seseorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain an
mendapatkannya dirinya lebih unggul.
2) Ngukur
sarira, di mana seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai
tolak ukur.
3) Tepa
sarira, dimana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain.
4) Mawas
diri, dimana seseorang mencoba memahami keadaan dirinya sejujur-jujurnya.
5) Mulat
sarira, lebih dari mawas diri, dimana manusia menetukan identitas yang terdalam
sebagai pribadi
REFERENSI
~ Suryabrata, S. (Ed. Terakhir). Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV
Rajawali
~ Hall, C.S & Lindzey, G. 1985.
Theories of Personality. New York :
John Wiley & Sons
~ Allport, G.W. 1961. Pattern and Growth in Personality.
London : Hold, Rinchart & Winston
~ www.kompas.com,
Rasa Memiliki yang Sewenang-wenang. Diunduh
tanggal 03-01-2012
~ Jatman, Sudarmanto. 2008. ILMU JIWA KAUM PRIBUMI (Indigenous
Psychology). E-book; Universitas Diponegoro Semarang
~Syeikh Idris Shah. Mahkota Sufi. E-book;
sumber:http://media isnet.org
~ Anwar, Rosihan. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka
Setia
~ Ruswandi, Uus, Badrudin. 2010, pengembangan Kepribadian Guru. Bandung:
CV. Insan Mandiri.
~Yusuf, Samsu. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: Rosda Karya
~ Koeswara. 1991. Teori-teori Kepribadian Psikoanalisis, Behaviorisme, Humanistik. Bandung: Eresco.
~ Ki fudyartanto. 2003. Psikologi kepribadian timur. Jakarta: Pustaka
pelajar
~ Ivan, Taniputera, Dipl. Ing. 2003.
Sains Modern dan Buddhisme. Menelaah
Persamaan Buddhisme dan Sains dalam Bidang Kosmologi, Fisika Kuantum, Biologi,
Matematika dan Psikologi. Jakarta: Yayasan Karaniya
Cukup panjang penjelasan tentang kepribadian
BalasHapus