Senin, 28 Maret 2011

APA ITU MANUSIA


FILSAFAT MANUSIA

A.     Mengapa Suatu Filsafat Manusia?

Filsafat adalah suatu cara atau metode pemikiran yang bertanya-tanya tentang sifat dasar dan hakiki berbagai kenyataan yang tampil di muka kita.
Filsafat manusia jelasnya adalah bagian yang mengupas apa arti manusia sendiri. Filsafat manusia seringkali, terutama pada waktu lampau, dinamakan “psikologi filosofis” atau “psikologi irasioanl”, sebagai lawan “psikologi impiris”, “eksperimental”, atau “ilmiah”. Tetapi istilah psikologi mengandung kesulitan kalau orang berpegang pada etimooginya saja (ilmu jiwa) karena seolah-oleh satu aspek dari manusia saja yang diperhatikan, yaitu jiwanya (psyche dalam bahasa Yunani). Oleh sebab itu, istilah “filsafat manusia” atau “antropologi filosofis” (anthropos dalam bahasa yunani berarti manusia) tampak lebih eksas karena apa yang dipelajarinya adlah manusia sepenuhnya, roh serta badannya, jiwa serta dagingnya. Menurut Sokrates, telah didengarnya dibawah langit Delphi: “kenalilah dirimu sendiri!”
B.     Kesulitan Suatu Filsafat Manusia

Banyak pendapat berbeda-beda tentang manusia dari filsuf-filsuf  yang sampai saat ini tidaklah menimbulkan keragu-raguan. Mereka memang telah menyajikan berbagia konsepsi tentang manusia yang tampaknya saling bertentangan. Bagi Plato dan Plotinos, misalnya, manusia itu adalah suatu mahluk ilahi. Bagi Epikuros dan Lukretus, sebaliknya, manusia adalah suatu mahluk berumur pendek, lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama sekali lenyap. Menurut Descrates, kebebasan manusia mirip dengan kebebasan Tuhan, padahal Voltaire yakin bahwa manusia itu secara esensial tidak berbeda dengan bintang-bintang yang paling tinggi. Hobbes, yang memang hidup dalam pergolakan zaman, bahwa manusia itu dalam daya geraknya bersifat agresif dan jahat, sedangkan Rousseau menganggapnya sebagai baik dalam kodratnya. Pada abad ini para pemikir seperti Buber, Marcel, Levines, dan Mounier menegaskan dengan kuat bahwa setiap manusia adalah suatu nilai unik, sedangka para ahli-ahli alin mengajarkan kita bahwa manusia itu adalah suatu mahluk yang tak berarti atau suatu “keinginan” yang sia-sia.

C.     Perlunya dan Kemungkinan Filsafat Manusia

Tugas filsafat adalh menciptakan sebuah naskah, mengelola suatu wacana. Namun, wacana ini tidak termasuk dalam bilangan pengetahuan-pengetahuan lain manusia sebab wacana ini tidak terbatas  pada suatu aspek tertentu manusia. Fungsi dan tugas filsafat tidaklah tunduk pada penggolongan-penggolongan yang merupakan ciri khas suatu ilmu. Tugas filsafat adalah mempelajari manusia dalam kebulatan aslinya, serta menghadapinya secara keseluruhan yang bukanlah himpunan dari cabang-cabang ilmu yang berbeda itu. Sang filsuf mencurahkan segenap perhatiannya terhadap manusia dalam eksistensialitasnya yang berada diatas pengkotak-kotakan pengetahuan yang beraneka ragam. Dalam persepektif ini filsafat secara dasariah tetap merupakan kebijakan.
Filsafat, yang tidak dikenal Freud, mengambil kembali suatu tempat yang makin penting. Dalam banyak karya psikiatris dan psikoanalisis (eksistensial). Para penganut aliran ini mencoba menggabungkan penemuan-penemuan dan metode dari Freud dan penganut-penganutnya dengan ide pokok dari filsuf fenomonolog dan eksistensial modern. Mereka tidak tertari hal-hal teknis baru, melainkan konsepsi yang lebih dalam dan holistic tentang manusia. Misalnya J. Lacan, berpaling pada filsafat sebagai suatu sumber yang penting sekali untuk melaksanakan tugas itu. Pendeknya, “the metaphysical dimension of human beings can no longer be ignored by any modern psychology that espouses to be a complete and non truncated psychology”.

D.    Watak dan Sifat Manusia, Objek Filsafat Manusia

Filsafat manusia mengandaikan sifat manusia adalah suatu kumpulan corak dan suatu rangkaian bentuk dinamis yang khas baginya. Adanya watak-sifat ini memungkinkan membedakan manusia secara pasti dari mahluk-mahluk lain.
Banyak kecenderungan eksistensial yang menyangkal adanya kodrat manusia, diantara sekian banyak contoh, bagaimana Prof. P.P. Grasse, ahli biologi, menggaris bawahi sifat riil dan objektif kodrat manusia. Dalam bukunya L’homme en accusation, beliau menganalisis kodrat manusia dari ketiga segi terpenting: segi biologis, segi psikologis, dan segi metafisik. Pendeknya kodrat manusia bukanlah suatu yang kaku, melainkan bersifat dinamis-evolutif, dan tidak dikapsulkan dalam beberapa konsep definitive. Secara umum, pengetahuan kita selalu bersifat historis dan perspektival, apalagi tentang kodrat manusia. Dari pihak itu filsuf-filsuf seperti James dan Dewey berjasa sekali karena mereka bring us back to the unfinished and open character of thought. Pikiran manusia berbentuk temporal sehingga signifikasi atau arti yang menghadiri suatu pikiran tetap tinggal terbuka terhadap aspek-aspek baru. Justru karena kodrat manusia itu sendiri, tidak mengherankan bahwa kita masih dalam proses menemukan terus-menerus apa itu manusia, just as we are still in the process of finding out what reality as whole is. Hanya suatu etimologi dangkallah yang melihat tantangan antara, disuatu pihak sifat historis pengetahuan, dan dilain pihak, nilai objektif dan pasti pengetahuan itu.

E.     Apa yang Membedakan Filsafat Manusia dari Ilmu-ilmu Lain tentang Manusia?

Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, sedikit mirip dengan ilmu-ilmu tentang alam, berdaya upaya untuk menemukan hokum-hukum perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara inderawi dan objek interopeksi. Adapun filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang lebih mendalam dari manusia. Karena lebih luas dan lebih mempersatukan, lebih global. Volkabular yang khas baginya adlah mengenai gagasan-gagasan universal dan terutama transcendental, yang menggambarkan  sifat-sifat yang mempengaruhi segala realitas: kebenaran, kebaikan, keindahan, aktivitas, pasivitas, alteritas, dan lain-lain.
Biarpun filsafat jelas berbeda dengan cabang-cabang ilmiah yang lain. Filsafat harus memperhatikan segala hal yang dapat diketahuinya tentang manusia dengan peranan ilmu pengetahuan, kesenian, sejarah, teologi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, mudah-mudahan ada pertukaran dan interaksi yang terus-menerus antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lainnya, seperti diharapkan terutama sejak terjadi “le decloisonnement des disciplines”.

 F.      Titik Tolak dan Objek Tepat Filsafat Manusia

Walaupun filsafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana ia berkembang, namun ia tetap suatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan segala pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak menjawab secara langsung pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh filsafat dari sudut pandang yang khas baginya. Maka seharusnya, lebih baik bertolak dari  pengetahuan dan pengalaman tentang manusia serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu, yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama, yang darinya sang ilmuwan membangun ilmunya, sang seniman menciptakan karyanya, sang ahli sejarah menelusuri waktu yang telah silam, dan ahli teologi menafsirkan Sabda Ilahi. Pengalaman itu memang primordial ia mendahului perbedaan segala disipllin dan merupakan landasan bagi timbulnya disiplin masing-masing. Perlunya berpaling pada disiplin-disiplin lain, tidaklah untuk menggantikan primordial tersebut dengan kesimpulan-kesimpulan serta hasil-hasil mereka, melainkan untuk mengambil dari mereka suatu pandangan yang lebih luas dan lebih cepat.
Beberapa istilah tradisional berguna dan tetap relevan, misalnya distingsi antara objek material dan objek formal filsafat manusia. Objek material suatu disiplin adalah halnya sendiri yang diajadikan objek penelitiannya, sedangkan objek formal adalah segi khusus yang dipelajari dalam objek material tersebut. Objek formal filsafat itu adalahinti manusia strukturnya yang fundamental (bukan berupa fisik yang dapat digambarkan). Apa yang kami sebut “apa yang harus diakui” adalah suatu prinsip (principe d’etre), yaitu sesuatu “yang olehnya dan berkatanya” manusia menjadi yang terwujud. Itu berarti manusia tidak hanya terdiri dari dua realitas saja melainkan itu merupakan pengakuan bahwa dalam mahluk yang disebut manusia itu ada sesuatu.

G.    Metode Filsafat

Pada dasarnya filsafat bersifat interogratif, dan interogasinya bagi sang filsuf diarahkan pada hal-hal yang paling fundamental, sehingga filsafat bisa dikatakan bersifat meradikalisasikan. Metode filsafat bersifat diagonal (dialektik), dealektik merupakan hasil pengumpulan dan penilaian  kritik dari semua opini yang didapatkan tentang suatu masalah tertentu. Dewasa ini, filsafat dituntut bercorak diagonal dan dealiktik, bahkan perlu menjadi interdisipliner, beberapa contoh sebagai berikut:
·        Filsuf K.R. Popper dan ahli neurobiology J.C. Eccles (pemenang Hadiah Nobel) meneliti gejala kesadaran masing-masing dari pihak filosofis dan dari piahak ilmu syaraf, lalu mereka bertukar fikiran dalam bentuk 12 dialog yang menimbulkan semangat yang besar. Sifat non material manusia, meskipun terikat dengan otak, diberi suatu keterangan baru yang tak terhingga harganya.
·        Ahli biologi C. Birch dan ahli teologi B. Cobb menerangi berbagai problem manusiawi dalam suatu persepektif yang terbuka terhadap biologi dan ekologi.
·        Filsuf Claude Bruaire, ahli antropologi filosofis dan filsafat politik, menyajikan kepada kita hasil dari debat-debat antara beberapa filsuf dan ahli teologi yang bekerja bersama selama 4 tahun untu mempelajari fenomena “penyembahan berhala” zaman ini.
·        Filsuf J. Parain-Vial mendekati masalah kebebasan secar abru lewat konfrontasinya dengan biologi, psikoanalisis, sosiolog, dan analisis Marxis.
Disamping bersifat reflektif dan fenomenologis, metode filsafat dapat dikatakan juga induktif (menyimpulkan beberapa fenomena/lebih), abstraktif (sebab dalam fenomena), dan eidetik (persis kodrat). Karena filsafat mencoba mengerti apa yang fundamental dalam realaitas, dank arena ditaraf dasariah itu segala hal bersatu padu kembali, maka filsafat cenderung membentuk sintesis,bahkan sistem. Lalu sejauh ia mencoba menerangi segala hal lainnnya dari cahaya apa yang diakuinya sebagai fundamental, dan sejauh sang filsuf berusaha untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip visinya, filsafat akan menjadi kebijakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar