FILSAFAT MANUSIA
A.
Mengapa
Suatu Filsafat Manusia?
Filsafat
adalah suatu cara atau metode pemikiran yang bertanya-tanya tentang sifat dasar
dan hakiki berbagai kenyataan yang tampil di muka kita.
Filsafat
manusia jelasnya adalah bagian yang mengupas apa arti manusia sendiri. Filsafat
manusia seringkali, terutama pada waktu lampau, dinamakan “psikologi filosofis”
atau “psikologi irasioanl”, sebagai lawan “psikologi impiris”, “eksperimental”,
atau “ilmiah”. Tetapi istilah psikologi mengandung kesulitan kalau orang
berpegang pada etimooginya saja (ilmu jiwa) karena seolah-oleh satu aspek dari
manusia saja yang diperhatikan, yaitu jiwanya (psyche dalam bahasa Yunani).
Oleh sebab itu, istilah “filsafat manusia” atau “antropologi filosofis”
(anthropos dalam bahasa yunani berarti manusia) tampak lebih eksas karena apa
yang dipelajarinya adlah manusia sepenuhnya, roh serta badannya, jiwa serta
dagingnya. Menurut Sokrates, telah didengarnya dibawah langit Delphi:
“kenalilah dirimu sendiri!”
B.
Kesulitan
Suatu Filsafat Manusia
Banyak
pendapat berbeda-beda tentang manusia dari filsuf-filsuf yang sampai saat ini tidaklah menimbulkan
keragu-raguan. Mereka memang telah menyajikan berbagia konsepsi tentang manusia
yang tampaknya saling bertentangan. Bagi Plato dan Plotinos, misalnya, manusia
itu adalah suatu mahluk ilahi. Bagi Epikuros dan Lukretus, sebaliknya, manusia
adalah suatu mahluk berumur pendek, lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama
sekali lenyap. Menurut Descrates, kebebasan manusia mirip dengan kebebasan
Tuhan, padahal Voltaire yakin bahwa manusia itu secara esensial tidak berbeda
dengan bintang-bintang yang paling tinggi. Hobbes, yang memang hidup dalam
pergolakan zaman, bahwa manusia itu dalam daya geraknya bersifat agresif dan
jahat, sedangkan Rousseau menganggapnya sebagai baik dalam kodratnya. Pada abad
ini para pemikir seperti Buber, Marcel, Levines, dan Mounier menegaskan dengan
kuat bahwa setiap manusia adalah suatu nilai unik, sedangka para ahli-ahli alin
mengajarkan kita bahwa manusia itu adalah suatu mahluk yang tak berarti atau
suatu “keinginan” yang sia-sia.
C.
Perlunya
dan Kemungkinan Filsafat Manusia
Tugas
filsafat adalh menciptakan sebuah naskah, mengelola suatu wacana. Namun, wacana
ini tidak termasuk dalam bilangan pengetahuan-pengetahuan lain manusia sebab
wacana ini tidak terbatas pada suatu
aspek tertentu manusia. Fungsi dan tugas filsafat tidaklah tunduk pada
penggolongan-penggolongan yang merupakan ciri khas suatu ilmu. Tugas filsafat
adalah mempelajari manusia dalam kebulatan aslinya, serta menghadapinya secara
keseluruhan yang bukanlah himpunan dari cabang-cabang ilmu yang berbeda itu.
Sang filsuf mencurahkan segenap perhatiannya terhadap manusia dalam
eksistensialitasnya yang berada diatas pengkotak-kotakan pengetahuan yang
beraneka ragam. Dalam persepektif ini filsafat secara dasariah tetap merupakan
kebijakan.
Filsafat,
yang tidak dikenal Freud, mengambil kembali suatu tempat yang makin penting.
Dalam banyak karya psikiatris dan psikoanalisis (eksistensial). Para penganut
aliran ini mencoba menggabungkan penemuan-penemuan dan metode dari Freud dan
penganut-penganutnya dengan ide pokok dari filsuf fenomonolog dan eksistensial
modern. Mereka tidak tertari hal-hal teknis baru, melainkan konsepsi yang lebih
dalam dan holistic tentang manusia. Misalnya J. Lacan, berpaling pada filsafat
sebagai suatu sumber yang penting sekali untuk melaksanakan tugas itu.
Pendeknya, “the metaphysical dimension of human beings can no longer be ignored
by any modern psychology that espouses to be a complete and non truncated
psychology”.
D.
Watak
dan Sifat Manusia, Objek Filsafat Manusia
Filsafat
manusia mengandaikan sifat manusia adalah suatu kumpulan corak dan suatu
rangkaian bentuk dinamis yang khas baginya. Adanya watak-sifat ini memungkinkan
membedakan manusia secara pasti dari mahluk-mahluk lain.
Banyak
kecenderungan eksistensial yang menyangkal adanya kodrat manusia, diantara
sekian banyak contoh, bagaimana Prof. P.P. Grasse, ahli biologi, menggaris
bawahi sifat riil dan objektif kodrat manusia. Dalam bukunya L’homme en
accusation, beliau menganalisis kodrat manusia dari ketiga segi terpenting:
segi biologis, segi psikologis, dan segi metafisik. Pendeknya kodrat manusia
bukanlah suatu yang kaku, melainkan bersifat dinamis-evolutif, dan tidak
dikapsulkan dalam beberapa konsep definitive. Secara umum, pengetahuan kita
selalu bersifat historis dan perspektival, apalagi tentang kodrat manusia. Dari
pihak itu filsuf-filsuf seperti James dan Dewey berjasa sekali karena mereka
bring us back to the unfinished and open character of thought. Pikiran manusia
berbentuk temporal sehingga signifikasi atau arti yang menghadiri suatu pikiran
tetap tinggal terbuka terhadap aspek-aspek baru. Justru karena kodrat manusia
itu sendiri, tidak mengherankan bahwa kita masih dalam proses menemukan
terus-menerus apa itu manusia, just as we are still in the process of finding
out what reality as whole is. Hanya suatu etimologi dangkallah yang melihat
tantangan antara, disuatu pihak sifat historis pengetahuan, dan dilain pihak,
nilai objektif dan pasti pengetahuan itu.
E.
Apa
yang Membedakan Filsafat Manusia dari Ilmu-ilmu Lain tentang Manusia?
Ilmu-ilmu
pengetahuan tentang manusia, sedikit mirip dengan ilmu-ilmu tentang alam,
berdaya upaya untuk menemukan hokum-hukum perbuatan manusia, sejauh perbuatan
itu dapat dipelajari secara inderawi dan objek interopeksi. Adapun filsafat
mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang lebih mendalam dari manusia.
Karena lebih luas dan lebih mempersatukan, lebih global. Volkabular yang khas
baginya adlah mengenai gagasan-gagasan universal dan terutama transcendental,
yang menggambarkan sifat-sifat yang
mempengaruhi segala realitas: kebenaran, kebaikan, keindahan, aktivitas,
pasivitas, alteritas, dan lain-lain.
Biarpun
filsafat jelas berbeda dengan cabang-cabang ilmiah yang lain. Filsafat harus
memperhatikan segala hal yang dapat diketahuinya tentang manusia dengan peranan
ilmu pengetahuan, kesenian, sejarah, teologi, dan lain-lain. Oleh sebab itu,
mudah-mudahan ada pertukaran dan interaksi yang terus-menerus antara filsafat
dengan ilmu pengetahuan lainnya, seperti diharapkan terutama sejak terjadi “le
decloisonnement des disciplines”.
F.
Titik
Tolak dan Objek Tepat Filsafat Manusia
Walaupun
filsafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana ia berkembang, namun
ia tetap suatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan segala
pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak menjawab secara langsung
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh filsafat dari sudut pandang yang khas
baginya. Maka seharusnya, lebih baik bertolak dari pengetahuan dan pengalaman tentang manusia
serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu, yang dimiliki oleh
semua orang secara bersama-sama, yang darinya sang ilmuwan membangun ilmunya,
sang seniman menciptakan karyanya, sang ahli sejarah menelusuri waktu yang
telah silam, dan ahli teologi menafsirkan Sabda Ilahi. Pengalaman itu memang
primordial ia mendahului perbedaan segala disipllin dan merupakan landasan bagi
timbulnya disiplin masing-masing. Perlunya berpaling pada disiplin-disiplin
lain, tidaklah untuk menggantikan primordial tersebut dengan
kesimpulan-kesimpulan serta hasil-hasil mereka, melainkan untuk mengambil dari
mereka suatu pandangan yang lebih luas dan lebih cepat.
Beberapa
istilah tradisional berguna dan tetap relevan, misalnya distingsi antara objek
material dan objek formal filsafat manusia. Objek material suatu disiplin
adalah halnya sendiri yang diajadikan objek penelitiannya, sedangkan objek
formal adalah segi khusus yang dipelajari dalam objek material tersebut. Objek
formal filsafat itu adalahinti manusia strukturnya yang fundamental (bukan
berupa fisik yang dapat digambarkan). Apa yang kami sebut “apa yang harus
diakui” adalah suatu prinsip (principe d’etre), yaitu sesuatu “yang olehnya dan
berkatanya” manusia menjadi yang terwujud. Itu berarti manusia tidak hanya
terdiri dari dua realitas saja melainkan itu merupakan pengakuan bahwa dalam
mahluk yang disebut manusia itu ada sesuatu.
G.
Metode
Filsafat
Pada
dasarnya filsafat bersifat interogratif, dan interogasinya bagi sang filsuf
diarahkan pada hal-hal yang paling fundamental, sehingga filsafat bisa
dikatakan bersifat meradikalisasikan. Metode filsafat bersifat diagonal
(dialektik), dealektik merupakan hasil pengumpulan dan penilaian kritik dari semua opini yang didapatkan
tentang suatu masalah tertentu. Dewasa ini, filsafat dituntut bercorak diagonal
dan dealiktik, bahkan perlu menjadi interdisipliner, beberapa contoh sebagai
berikut:
·
Filsuf K.R. Popper dan ahli neurobiology
J.C. Eccles (pemenang Hadiah Nobel) meneliti gejala kesadaran masing-masing
dari pihak filosofis dan dari piahak ilmu syaraf, lalu mereka bertukar fikiran
dalam bentuk 12 dialog yang menimbulkan semangat yang besar. Sifat non material
manusia, meskipun terikat dengan otak, diberi suatu keterangan baru yang tak
terhingga harganya.
·
Ahli biologi C. Birch dan ahli teologi
B. Cobb menerangi berbagai problem manusiawi dalam suatu persepektif yang
terbuka terhadap biologi dan ekologi.
·
Filsuf Claude Bruaire, ahli antropologi
filosofis dan filsafat politik, menyajikan kepada kita hasil dari debat-debat
antara beberapa filsuf dan ahli teologi yang bekerja bersama selama 4 tahun
untu mempelajari fenomena “penyembahan berhala” zaman ini.
·
Filsuf J. Parain-Vial mendekati masalah
kebebasan secar abru lewat konfrontasinya dengan biologi, psikoanalisis,
sosiolog, dan analisis Marxis.
Disamping
bersifat reflektif dan fenomenologis, metode filsafat dapat dikatakan juga
induktif (menyimpulkan beberapa fenomena/lebih), abstraktif (sebab dalam
fenomena), dan eidetik (persis kodrat). Karena filsafat mencoba mengerti apa
yang fundamental dalam realaitas, dank arena ditaraf dasariah itu segala hal
bersatu padu kembali, maka filsafat cenderung membentuk sintesis,bahkan sistem.
Lalu sejauh ia mencoba menerangi segala hal lainnnya dari cahaya apa yang
diakuinya sebagai fundamental, dan sejauh sang filsuf berusaha untuk hidup
sesuai dengan prinsip-prinsip visinya, filsafat akan menjadi kebijakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar