PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk sosial-budaya yang memperoleh perilakunya melalui belajar. Dari
semua aspek belajar tersebut, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling
men-dasar. Lewat komunikasi manusia dapat berhu-bungan dengan lingkungan, serta
mendapatkan pengakuan terhadap keberadaannya disebuah kelompok sosial. Menurut
Peterson, Jensen dan River, (1965:16) komunikasi adalah pembawa proses sosial,
alat yang dimiliki manusia untuk mengatur, menstabilkan, dan memodifikasi
kehi-dupan sosialnya.
Banyak
pandangan tentang budaya. Dalam konteks luas budaya diartikan sebagai paduan
pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari
ling-kungan. Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen
yang lama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan oleh mereka yang
lahir dan diasuh oleh budaya. Proses yang dilalui oleh individu untuk
memperoleh aturan-aturan (budaya) dimulai pada masa-masa awal kehidupan dengan
cara proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya tersebut ditanamkan kedalam
sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku (Adler, 1976). Proses
yang terinter-nalisasikan ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan
anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komuni-kasi serupa.
Proses memperoleh pola-pola demikian disebut Inkulturasi atau dalam
istilah-istilah lain disebut pelaziman budaya dan pe-mrograman budaya
(Herskovits, 1966:24). Hubungan antara budaya dan individu seperti yang
terlihat pada proses inkulturasi, membangkitkan kemampuan manusia yang besar
untuk menyesuaikan dirinya dengan ke-adaan. Secara bertahap imigran akan
menyesuai-kan dirinya dengan keadaan, dan kemudian belajar menciptakan
situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi sejalan
dengan berbagai transaksi yang dia laku-kan dengan orang-orang lain. Demikian
pula sebaliknya masyarakat pribumi secara perlahan akan mulai mengenal dan
menerima berbagai masukan baru yang dibawa oleh si imigran. Perubahan perilaku
tersebut juga terjadi ketika seorang imigran menyimpang dari pola-pola budaya
lama yang dianutnya dan mengganti pola-pola lama tersebut dengan pola-pola baru
dalam budaya pribumi.
Proses
inkulturasi kedua yang terjadi pada imigran ini biasanya disebut akulturasi (accul-turation).
Akulturasi merupakan proses yang dilakukan imigran untuk menyesuaikan diri
dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi.
Menurut Koentjaraningrat (1977) proses akulturasi yang utama adalah unsur
diterimanya kebudayaan asing yang diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan lenyapnya kepribadian kebudayaan asal. Dengan demikian pada
akhirnya bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tetapi juga sistem
sosio-budaya pribumi yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar
budaya yang lama. Namun dampak budaya imigran atas budaya pribumi relatif tidak
berarti dibanding-kan dengan dampak budaya pribumi atas budaya imigran. Faktor
yang berpengaruh atas peru-bahan yang terjadi pada diri imigran adalah
perbedaan antara jumlah individu dalam ling-kungan baru yang berbagi kebudayaan
asli imigran dan besarnya masyarakat pribumi. Juga kekuatan dominan masyarakat
pribumi me-ngontrol berbagai sumber dayanya mengakibat-kan lebih banyak dampak
pada kelanjutan dan perubahan budaya dari imigran. Proses akulturasi adalah
suatu proses in-teraktif dan berkesinambungan yang berkem-bang dalam dan
melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru.
Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat
dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni
rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah. Pada kajian ini penulis
membahas salah satu fenomena yang menarik sebagai bukti komunikasi tersebut
yang sangat berperan dalam proses akulturasi budaya. Tujuan dari penulisan ini
adalah mempaparkan adanya akulturasi budaya Madura, Cina dan Belanda pada karya
arsitektur-interior Keraton Sumenep yang sampai sekarang masih terpelihara
secara baik.
Latar Belakang
Proses
akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang
dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya
yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya
dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya
seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah, Keraton Sumenep merupakan
salah satu peninggalan bangunan di Madura.
Kraton
Sumenep dirancang oleh arsitek Lauw Pia Ngo dari Negeri Cina, dibangun pada
masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan demikian maka warisan budaya itu
tidak luput dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan Belanda.
Kesemuanya itu tampak pada penampilan dan penyelesaian bangunan-bangunan
tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki bentuk bangunan Jawa. Pendopo dengan
atap Limasan Sinom dan bubungannya dihiasi dengan bentuk mencuat seperti kepala
naga, merupakan pengaruh Cina. Sedangkan bangunan dalem terdapat bentuk gunung
(top level) yang telanjang tanpa teritis dan diselesaikan dengan bentuk
mirip cerobong asap di puncaknya, merupakan bukti pengaruh Belanda dan Cina.
Pada ragam hiasnya juga nampak beberapa pola Jawa, Islam dan Cina yang dipadu
cukup menarik. Bentuk arsitektur Kraton Sumenep, menunjukkan wujud adanya
akulturasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda.
Pembahasan
1.
VARIABEL-VARIABEL KOMUNIKASI DALAM AKULTURASI
BUDAYA
Proses
komunikasi dalam akulturasi budaya, dipengaruhi oleh banyak varibel-variabel
komu-nikasi. Salah satu kerangka konsep yang paling komprehensip dan bermanfaat
dalam menga-nalisa akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi
terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam
perspektif sistem, ada 3 unsur dasar sistem komunikasi manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungan-nya melalui dua proses yang saling berhubungan,
yaitu komunikasi personal, komunikasi sosial dan lingkungan komunikasi.
Pertama, komunikasi personal, adalah proses mental yang dilakukan manusia untuk
mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosial budayanya,
mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespon lingkungan.
Dalam kontek akulturasi, komuni-kasi personal seorang imigran dapat dianggap
sebagai pengaturan pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respon kognitif
dan afektif yang dapat diidentifikasi dan konsisten dengan budaya pribumi.
Salah satu variabel komunikasi personal terpenting dalam akulturasi adalah
kompleksitas struktur kognitif imigran dalam hal ini orang-orang Cina dan
Belanda dalam mem-persepsi lingkungan pribumi (budaya Madura). Variabel lain
komunikasi personal adalah citra diri imigran yang berkaitan dengan citra-citra
imigran tentang lingkungannya. Aspek motivasi akulturasi seorang imigran
terbukti fungsional dalam memudahkan proses akulturasi. Semakin tinggi motivasi
dari seorang imigran untuk mela-kukan penyesuaian dengan budaya setempat, maka
semakin cepat pula proses terjadinya akulturasi budaya. Kedua, komunikasi
sosial, berkaitan dengan komunikasi personal ketika dua atau lebih individu
berinteraksi, sengaja atau tidak melalui komunikasi sosial individu-individu
mengatur perasaan-perasaan, pikiran dan perila-ku-perilaku antara yang satu
dengan yang lain-nya. Komunikasi antar pesonal seorang imigran dapat diamati
melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antar personal dengan
anggota-anggota masyarakat pribumi. Derajat keintiman dalam hubungan-hubungan
individu telah dikembangkan dengan anggota masyarakat pribumi, merupakan salah
satu indikator penting tentang kecakapan komunikasi pribumi yang telah
diperolehnya. Komunikasi yang melibatkan hubungan antar personal mem-beri
imigran maupun umpan balik yang serem-pak, yang secara langsung berfungsi
sebagai kontrol perilaku-perilaku komunikasi imigran.
Ketiga, lingkungan
komunikasi. Komuni-kasi personal dan komunikasi sosial seorang imigran dan
fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan
dengan lingkungan komunikasi masyarakat pri-bumi. Suatu kondisi lingkungan yang
sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya
komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas
perilaku imigran sangat bergantung pada derajat kelengkapan kelembagaan
komuni-tas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budaya yang khas bagi
anggota-anggotanya (Taylor, 1979). Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat
mengatasi tekanan-tekanan situasi antar budaya dan memudahkan akulturasinya.
Pada akhirnya masyarakat pribumilah yang memberikan kebebasan atau keluwesan
kepada imigran minoritas untuk menyimpang dari pola-pola budaya masyarakat
pribumi yang dominan dan untuk mengembangkan lembaga-lembaga etnik.
2.
PERIODE SEJARAH TERJADINYA AKULTURASI DI SUMENEP
a.
Sumenep dengan Kerajaan Jawa Hindu/ Budha dan
Islam
Daerah
Sumenep dibuka pertama kali seba-gai kabupaten oleh Ario Adikoro Wiraraja atau
Banyak Wide yang memerintah pada tahun 1269 - 1292. Beliau adalah Bupati yang
dibentuk dan diangkat oleh Raja Singasari yang dikenal dengan Raja Kertanegara.
Jadi saat itu Sumenep merupakan daerah bawahan kerajaan Singosari.
Bupati-bupati pada kurun selanjutnya adalah tetap anak turun dari Ario Banyak
Wide dan selalu berkiblat ke arah kerajaan di Jawa (Abdurachman, 1971). Bupati
Sumenep ke 13 bernama Joko Tole (1415-1406) mulai memeluk agama Islam yang disiarkan
dari Giri Kedaton Gresik. Sejak saat itu agama Hindu dan Budha berangsur-angsur
surut dan digantikan oleh agama Islam yang memang sudah mulai tersebar luas di
kawasan nusantara.
Bupati
ke 16 adalah R.T Kanduruan, putra Raden Patah, Raja Islam Demak. Sedangkan
Bupati Sumenep ke 21 yakni Pangeran Angga-dipa adalah putra Jepara, Jawa
Tengah, dengan demikian maka kiblat kekuasaan dan kebuda-yaan Sumenep kini
beralih ke Jawa Tengah sesuai dengan perpindahan kekuasaan saat itu. Maka
terjadilah akulturasi kebudayaan Madura dengan kebudayaan Jawa. Diperkirakan
ukiran kayu Jepara dan kesenian Islam yang tersebar di pantai Utara Jawa ikut
tersebar ke Sumenep se-hingga kini tampak pola ukiran Madura di Karduluk
Sumenep yang ada kemiripan dengan pola ukiran Jepara. Bahkan sampai sekarang
kerajinan ukiran tersebut masih tetap ada, dengan motif-motif yang ada kesamaan
dengan motif-motif ukir di Jawa Tengah, meskipun da-lam bentuk dan corak yang
spesifik meng-gambarkan karakter Madura, yaitu bentuk pahatan yang tegas dan
lugas, serta warnanya yang mencolok.
B.
Sumenep dengan Imigran Cina
Kontak
antara masyarakat Madura dengan orang-orang Cina diperkirakan berawal pada saat
datangnya tentara tartar dari Cina atau Monggolia di Mojopahit (+ tahun 1229)
yang datang untuk memerangi Kertanegara. Raden Wijaya mulai bersahabat dengan
pasukan Tartar, namun demikian akhirnya pasukan Tartar inipun ditumpas dan
dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya Mojopahit. Kontak yang kedua terjadi pada
masa perang Joko Tole melawan Dempo Awang, abad ke 15. Kontak yang ketiga
diper-kirakan terjadi segera setelah Belanda mulai menguasai Madura, abad ke
18. Kontak yang keempat diperkirakan terjadi pada masa pem-berontakan Cina,
orang-orang Cina di Batavia menyebar ke daerah-daerah yang dikuasai Kompeni.
Hal ini terjadi pada abad ke 18. Di Sumenep banyak kedatangan orang-orang Cina
yang kemudian kawin dengan orang Madura dan menetap di sana. Lauw Pia Ngo
terkenal sebagai arsitek Keraton Sumenep, pada pemerintahan Panembahan Sumolo,
abad ke 18. Pada bangunan Keraton dan Masjid Agung yang kini masih terawat
baik, dapat dilihat pengaruh dari arsitektur Cina. Penyelesaian atap dan
sebagian ornamen ukir-ukiran pada pintu dan jendela keraton dibuat dengan penuh
langgam Cina. Pintu gerbang mengingatkan pada bentuk tembok Tiongkok, mimbar
dan mihrabnya dise-lesaikan dengan porselin dari Cina. Pada rumah tinggal para
pangeran juga dapat ditemukan hal serupa. Rumah Pangeran Letnan dan Pangeran
Patih, bentuk atapnya mirip rumah koloni Cina yang dapat ditemukan di Batavia
dan kota-kota besar di Jawa. Selain bidang perdagangan dan bangunan, banyak
orang-orang Cina di Sumenep yang mempunyai usaha pertukangan dan kerajinan,
oleh karena itu langgam Cina banyak ditemukan pada ukir-ukiran di Sumenep.
Sumenep
dengan Kolonial Belanda Menurut buku "Tjareta Negraha
Song-genep", Kompeni Belanda atau VOC datang di Sumenep pada kurun
pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah
perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep kemudian
takluk kepada kekuasaan Kompeni. Bahkan sepening-gal Raden Bugan, Kompeni ikut
campur menen-tukan tampuk pemerintahan Sumenep, kemu-dian menentukan Raden
Sudarmo, putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja, dibawa dan diasuh Kompeni
di Batavia. Pada tahun 1704 Pangeran Cakraningrat meninggal dan di Mataram
terjadi peristiwa penandatanganan antara Pangeran Puger dengan Kompeni, bahwa
Kompeni mengakui kekuasaan Pangeran Puger yang saat itu sedang berselisih
dengan Sunan Mas (Amangkurat III). Sebalik-nya Pangeran Puger berkewajiban
menyerahkan sebagian dari tanah Jawa dan Madura bagian Timur kepada Kompeni.
Dengan demikian untuk yang kedua kalinya Sumenep jatuh ke tangan Kompeni,
dimana pada saat itu masa peme-rintahan Panembahan Romo (Cokronegoro II). Pada
masa pemerintahan Alza (1744-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin Kyai
Lesap dari Bangkalan. Pada saat itu Kyai Lesap menggalang kekuatan yang ada
pada rakyat yang sudah benci kepada Kompeni. Ia berjuang dari Timur dengan
menguasai Keraton Sume-nep. Kyai Lesap memerintah Sumenep hanya dalam waktu 1
tahun yaitu tahun 1749-1750. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Raden Ayu
Tirtonegoro (1750-1762) keturunan dari Raden Bugan yang kemudian kawin dengan
seorang ulama bernama Bendoro Saud. Bendoro Saud ini kemudian oleh Kompeni
dinobatkan sebagai Bupati Sumenep.
Asirudin
putra Bendoro Saud dan putra angkat dari Ratu Tirtonegoro, atas permintaan
kedua orangtuanya, oleh Kompeni dikabulkan dan diangkat menjadi Bupati Sumenep
menggantikan ayahnya. Ia memerintah pada tahun 1762-1811 bergelar Tumenggung
Ario Noto-kusumo atau kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Sumolo.
Dialah yang mendirikan Keraton Sumenep pada tahun 1781. Keraton Pejagalan (R.
Ayu Tirtonegoro), Keraton Sumenep, Masjid Agung Sumenep dan Makam Asta Tinggi,
dibangun pada kurun Sumenep dikuasai Kolonial Belanda. Jadi tidak mustahil
kalau pada bangunan-bangunan terse-but akan ditemukan konsepsi arsitektur
Kolonial atau pengaruh langgam arsitektur Belanda (Eropa). Pada saat itu
Keraton Sumenep di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, kondisi ini sudah tentu
secara politik menunjukkan ada-nya dominasi peran pemerintah Kolonial dalam
setiap sisi kehidupan pemerintahan, baik sistem pemerintahan, lambang-lambang
kerajaan, ter-masuk dalam bentuk arsitektur bangunan keraton yang menunjukkan
adanya pengaruh kuat budaya kolonial (Barat).
3.
WUJUD KOMUNIKASI DAN AKUL-TURASI
BUDAYA MADURA, CINA DAN BELANDA PADA ARSITEKTUR-INTERIOR KERATON SUMENEP
Sifat
meniru bukanlah hal yang tidak mung-kin dalam kebudayaan, akan tetapi merupakan
sifat dari masyarakat dimanapun juga. Alfre Vierkandt seorang sosiolog terkenal
berkata, "Die Nachamung ist eine der Wichtigsten Grundslagen fur die
Erhaltung der Kultur", artinya peniruan adalah salah satu sendi yang
penting dalam perkembangan kebudayaan. Pertemuan antara dua kebudayaan akan
terjadi komunikasi pada kedua kebudaya terse-but, dan membawa akulturasi.
Kebudayaan yang kuat dan atau dianggap baik biasanya mewarnai kebudayaan
satunya. Bahkan dapat terjadi bah-wa dua kebudayaan saling berakulturasi,
saling -mempengaruhi antara kebudayaan imigran dengan kebudayaan pribumi, yang
pada akhir-nya akan melahirkan suatu kebudayaan baru. Kebudayaan baru tersebut
bisa berupa norma-norma, perilaku, bahasa maupun kesenian, dian-taranya seni
arsitektur. Adanya kebudayaan baru hasil akulturasi menunjukan peran komunikasi
sangat vital dalam mendorong suatu proses akulturasi budaya. Proses komunikasi
antara budaya Madura, Cina dan Belanda, yang telah berlangsung cukup lama,
terjadi berbagai penyesuaian antara bu-daya satu dengan budaya lainnya sehingga
menghasilkan akulturasi budaya baru. Proses akulturasi budaya di Madura dimulai
ketika pengaruh kerajaan Hindu dan Islam dari Jawa masuk ke Madura yang
akhirnya menjadi cikal bakal budaya Madura. Pada perkembangan berikutnya
masuklah budaya Cina yang dibawa oleh para imigran dan menghasilkan budaya
Madura ditambah Cina. Sedangkan proses akul-turasi yang selanjutnya terjadi
ketika kerajaan Sumenep berada di bawah kekuasaan Belanda, pada saat itulah
terjadi akulturasi antara budaya Madura ditambah Cina dengan budaya kolonial
(Barat), sehingga terlahir budaya baru yang sekarang terlihat pada bentuk
arsitektur-interior keraton Sumenep. Proses akulturasi budaya serta pengaruhnya
terhadap bentuk akulturasi interior bangunan kraton sumenep dijelaskan sebagai
berikut:
1. Bentuk Asli
Arsitektur Madura
Seperti
telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa sejarah Madura dimulai pada
masa Hindu/Islam di Jawa masuk ke Madura. Pengaruh Jawa tersebut sudah barang
tentu menyebabkan bentuk-bentuk arsitektur-interior di Madura banyak diwarnai
bentuk arsitektur-interior Jawa. Bentuk arsitektur rumah Jawa tersebut sampai
sekarang masih dapat ditemu-kan pada sebagian rumah penduduk daerah
pinggiran.
Bentuk arsitektur yang dipengaruhi oleh arsitektur Jawa tersebut antara lain
berupa:
a. Rumah tipe Trompesan
yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Srotongan yang diberi
cukit atau teritis di kedua
sisinya. Tipe rumah tersebut banyak terdapat di daerah Situbondo dan
Bondo-woso.
b. Bentuk rumah tipe Pegun atau Potongan, yaitu
rumah yang atapnya mirip dengan bentuk rumah Jawa tipe Limasan Pacul-gowang,
sekarang masih banyak terdapat pada rumah tinggal di Jawa.
2. Pengaruh
Arsitektur Cina
Orang
Cina di Sumenep selain berusaha pada bidang perdagangan juga banyak yang tekun
pada bidang pertukangan, maka pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas pada seni
ba-ngunan di Sumenep. Bentuk hiasan penutup atap dan pengukiran atap dengan top
gevel (gunung-gunung), keramik, porselin dari Cina, ukir-ukiran bentuk Naga
dan Burung Phoenix atau Merak dan sebagainya merupakan pengaruh kebudayaan
Cina. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada Tembok Raksasa di
Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang, mengesankan kekokohan
dan ke-agungan. Interior ruang masjid jamik, seperti mimbar, mihrab dan
maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen dari Cina. Model
interior seperti ini memperlihatkan nuan-sa pengaruh Cina yang sangat kuat.
a.Gambar
1 .Pintu gerbang Masjid Jamik Sumenep yang bentuknya mirip dengan tembok
Raksasa Tiongkok. Dilatar belakang nampak bangunan masjidnya yang beratap Tajug
tumpang tiga pengaruh arsitektur Jawa – Islam (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
Tampak
Timur Dalem Kraton yang din-dingnya tanpa teritis, mirip dinding Klenteng. Pada
puncak dinding tembok, terdapat bentuk seperti kepala tugu yang amat mirip
dengan bentuk cerobong asap di negeri Eropa (Belanda). Disini terlihat
Akul-turasi Budaya Cina dan Belanda dalam Seni Bangun (Sumber: Dokumentasi
Pribadi).
3. Pengaruh
Arsitektur Belanda (Barat)
Pada
awal berdirinya kabupaten Sumenep kekuasaan Kolonial Belanda cukup lama
(ku-rang lebih 3 abad) di Sumenep, dengan demikian masuklah (terjadi komunikasi
antara budaya) pengaruh kebudayaan Belanda memberi warna pada kebudayaan
Sumenep. Hal ini terlihat juga pada konsepsi ruang pada bangunan rumah tinggal
kaum bangsawannya. Bangunan ini mirip dengan konsepsi ruang pada bangunan
Kolonial Belanda yang banyak terlihat di Batavia dan kota-kota besar di Jawa
yang disebut sebagai "landhuise", yakni bentuk arsitektur
Belanda yang sudah disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Bentuk-bentuk ele-men
bangunan seperti kolom banyak dibuat dengan gaya Arsitektur Belanda (Yunani).
Bentuk-bentuk rumah tinggal Landhuise kini peninggalannya dapat dilihat
pada beberapa rumah kaum bangsawan pedagang Arab dan Pakistan di daerah
Kepanjen dan lain-lain. Wujud alkuturasi budaya asing yang masuk ke Kraton
Sumenep dapat dilihat juga pada lambang Kraton Sumenep, yakni pengaruh Be-landa
dengan mahkota yang lengkap dengan tanda salip di atasnya, Cina dengan lambang
naga yang dapat terbang, serta Madura (Islam) dengan lambang kuda terbang,
Merupakan suatu hal yang unik lambang Kraton dari Sultan (Islam) namun terdapat
lambang salib (Katolik) di bagian puncaknya.
Gambar
8.
Tampak depan Labang Mesem (Gapura Kraton). Hiasan tembok meniru bentuk Parthenon
dengan pilar-pilarnya bergaya Ionic sebagai bentuk pengaruh
arsitektur Belanda. Sedangkan atapnya bersusun mirip dengan Pagoda Cina
(Sumber: Doku-mentasi Pribadi).
Gambar
9.
Lambang Kraton Sumenep terdiri dari Mahkota Eropa (Kroons), kuda
terbang, naga terbang, dan untaian bunga mawar
Interior
dari Pringgitan (Teras Depan Dalem). Pilar-pilarnya bergaya Majapahit. Tinggi
pintu ke ruang sekretariat Sultan kurang dari 3m, mirip dengan ukuran untuk
orang Belanda. Lantai tegel sedang langit-langit dari papan jati (Sumber:
Dokumentasi Pribadi).
Kesimpulan
Budaya
dapat diartikan sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon
komuni-kasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Buda-ya juga merupakan
pengetahuan yang dapat dikomunikasikan, sifat-sifat perilaku dipelajari dari
anggota-anggota dalam suatu kelompok sosial dan wujud dalam lembaga-lembaga dan
artefak-artefak mereka. Proses memperoleh pola-pola demikian disebut Inkulturasi
atau istilah-istilah lain disebut pelaziman budaya dan pemprograman
budaya. Akulturasi merupakan proses yang dilaku-kan imigran untuk
menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses akul-turasi yang
utama adalah unsur diterimanya kebudayaan asing yang diolah kedalam kebuda-yaan
sendiri tanpa menyebabkan lenyapnya ke-pribadian kebudayaan asal. Proses
akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinam-bungan yang berkembang
dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya
yang baru. Proses komunikasi mendasari proses akul-turasi seorang imigran.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang
masyarakat pribumi yang signifikan. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan
berfungsi sebagai perangkat alat penyesuaian diri, dalam membantu imigran
memenuhi kebutuhan-kebu-tuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelang-sungan
hidupnya dan kebutuhan akan rasa memiliki dan harga diri. Kraton Sumenep dan
masjid Jamik diran-cang oleh arsitek Lauw Pia Ngo dari Negeri Cina, dibangun
pada masa pemerintahan kolo-nial Belanda. Maka warisan budaya itu tidak luput
dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan Belanda. Pengaruh
budaya-budaya tersebut tampak pada penampilan dan penyele-saian
bangunan-bangunan tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki bentuk bangunan
Jawa. Pendopo dengan atap Limasan Sinom dan bubungannya dihiasi dengan bentuk
mencuat seperti kepala naga, merupakan penga-ruh Cina. Sedangkan bangunan dalem
terdapat bentuk gunung (top level) yang telanjang tanpa teritis dan
diselesaikan dengan bentuk mirip cerobong asap di puncaknya, merupakan bukti
pengaruh Belanda dan Cina. Pada ragam hiasnya juga nampak beberapa pola Jawa,
Islam dan Cina yang dipadu cukup menarik. Bentuk arsitektur Kraton Sumenep,
menun-jukkan wujud adanya akulturasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda.
Dengan akulturasi tersebut menunjukkan telah terjadi komunikasi antar budaya
baik budaya imigran maupun pri-bumi. Adanya komunikasi budaya mengakibat-kan
proses akulturasi sebuah budaya menjadi lebih cepat terbentuk.
REFERENSI
- Abdurachman. 1976. Pengantar
Sejarah Jawa Timur. Jiild I, Cetakan I. Sumenep:
- Abdurachman. 1971. Sejarah Madura Se-lanyang
Pandang. Sumenep:
- 1975.
Rumah Tradisional Madura. Sura-baya: Fakultas Teknik Arsitektur Institut
Sepuluh `November Surabaya.
- Kartosoedirdjo,
Tjareta Naghara Soanggennep. 1921. Overdruk uit de Handelingen vanhet Eerste
Congres voor de Taal, Land, en Volkenkunde van Java. Weltevreden : Albrecht
& Co.
- Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode
Pene-litian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
- Koentjaraningrat. 1977. Antropologi
Sosial, Be-berapa Pokok. Jakarta: PT Dian Rakyat.
- Jordan,
Roy E. 1979. Penelitian Rumah Tradi-sional Madura. Makalah seminar PPM
tahun 1979 di Malang.
- Taylor,
Robert B. 1979. Introduction to Cultural Anthropology. Boston: Allyn and
Bacon, Inc,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar