Kamis, 26 Mei 2011

ARSITEKTUR-INTERIOR KERATON SUMENEP SEBAGAI WUJUD KOMUNIKASI DAN AKULTURASI BUDAYA MADURA, CINA DAN BELANDA


PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial-budaya yang memperoleh perilakunya melalui belajar. Dari semua aspek belajar tersebut, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling men-dasar. Lewat komunikasi manusia dapat berhu-bungan dengan lingkungan, serta mendapatkan pengakuan terhadap keberadaannya disebuah kelompok sosial. Menurut Peterson, Jensen dan River, (1965:16) komunikasi adalah pembawa proses sosial, alat yang dimiliki manusia untuk mengatur, menstabilkan, dan memodifikasi kehi-dupan sosialnya.
Banyak pandangan tentang budaya. Dalam konteks luas budaya diartikan sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari ling-kungan. Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang lama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan oleh mereka yang lahir dan diasuh oleh budaya. Proses yang dilalui oleh individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya) dimulai pada masa-masa awal kehidupan dengan cara proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya tersebut ditanamkan kedalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku (Adler, 1976). Proses yang terinter-nalisasikan ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komuni-kasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian disebut Inkulturasi atau dalam istilah-istilah lain disebut pelaziman budaya dan pe-mrograman budaya (Herskovits, 1966:24). Hubungan antara budaya dan individu seperti yang terlihat pada proses inkulturasi, membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan ke-adaan. Secara bertahap imigran akan menyesuai-kan dirinya dengan keadaan, dan kemudian belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi sejalan dengan berbagai transaksi yang dia laku-kan dengan orang-orang lain. Demikian pula sebaliknya masyarakat pribumi secara perlahan akan mulai mengenal dan menerima berbagai masukan baru yang dibawa oleh si imigran. Perubahan perilaku tersebut juga terjadi ketika seorang imigran menyimpang dari pola-pola budaya lama yang dianutnya dan mengganti pola-pola lama tersebut dengan pola-pola baru dalam budaya pribumi.
Proses inkulturasi kedua yang terjadi pada imigran ini biasanya disebut akulturasi (accul-turation). Akulturasi merupakan proses yang dilakukan imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi. Menurut Koentjaraningrat (1977) proses akulturasi yang utama adalah unsur diterimanya kebudayaan asing yang diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan lenyapnya kepribadian kebudayaan asal. Dengan demikian pada akhirnya bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tetapi juga sistem sosio-budaya pribumi yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Namun dampak budaya imigran atas budaya pribumi relatif tidak berarti dibanding-kan dengan dampak budaya pribumi atas budaya imigran. Faktor yang berpengaruh atas peru-bahan yang terjadi pada diri imigran adalah perbedaan antara jumlah individu dalam ling-kungan baru yang berbagi kebudayaan asli imigran dan besarnya masyarakat pribumi. Juga kekuatan dominan masyarakat pribumi me-ngontrol berbagai sumber dayanya mengakibat-kan lebih banyak dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya dari imigran. Proses akulturasi adalah suatu proses in-teraktif dan berkesinambungan yang berkem-bang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah. Pada kajian ini penulis membahas salah satu fenomena yang menarik sebagai bukti komunikasi tersebut yang sangat berperan dalam proses akulturasi budaya. Tujuan dari penulisan ini adalah mempaparkan adanya akulturasi budaya Madura, Cina dan Belanda pada karya arsitektur-interior Keraton Sumenep yang sampai sekarang masih terpelihara secara baik.

Latar Belakang

 Proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah, Keraton Sumenep merupakan salah satu peninggalan bangunan di Madura.
Kraton Sumenep dirancang oleh arsitek Lauw Pia Ngo dari Negeri Cina, dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan demikian maka warisan budaya itu tidak luput dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan Belanda. Kesemuanya itu tampak pada penampilan dan penyelesaian bangunan-bangunan tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki bentuk bangunan Jawa. Pendopo dengan atap Limasan Sinom dan bubungannya dihiasi dengan bentuk mencuat seperti kepala naga, merupakan pengaruh Cina. Sedangkan bangunan dalem terdapat bentuk gunung (top level) yang telanjang tanpa teritis dan diselesaikan dengan bentuk mirip cerobong asap di puncaknya, merupakan bukti pengaruh Belanda dan Cina. Pada ragam hiasnya juga nampak beberapa pola Jawa, Islam dan Cina yang dipadu cukup menarik. Bentuk arsitektur Kraton Sumenep, menunjukkan wujud adanya akulturasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda.


Pembahasan

1.        VARIABEL-VARIABEL KOMUNIKASI DALAM AKULTURASI BUDAYA

Proses komunikasi dalam akulturasi budaya, dipengaruhi oleh banyak varibel-variabel komu-nikasi. Salah satu kerangka konsep yang paling komprehensip dan bermanfaat dalam menga-nalisa akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam perspektif sistem, ada 3 unsur dasar sistem komunikasi manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan-nya melalui dua proses yang saling berhubungan, yaitu komunikasi personal, komunikasi sosial dan lingkungan komunikasi. Pertama, komunikasi personal, adalah proses mental yang dilakukan manusia untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosial budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespon lingkungan. Dalam kontek akulturasi, komuni-kasi personal seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respon kognitif dan afektif yang dapat diidentifikasi dan konsisten dengan budaya pribumi. Salah satu variabel komunikasi personal terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam hal ini orang-orang Cina dan Belanda dalam mem-persepsi lingkungan pribumi (budaya Madura). Variabel lain komunikasi personal adalah citra diri imigran yang berkaitan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Aspek motivasi akulturasi seorang imigran terbukti fungsional dalam memudahkan proses akulturasi. Semakin tinggi motivasi dari seorang imigran untuk mela-kukan penyesuaian dengan budaya setempat, maka semakin cepat pula proses terjadinya akulturasi budaya. Kedua, komunikasi sosial, berkaitan dengan komunikasi personal ketika dua atau lebih individu berinteraksi, sengaja atau tidak melalui komunikasi sosial individu-individu mengatur perasaan-perasaan, pikiran dan perila-ku-perilaku antara yang satu dengan yang lain-nya. Komunikasi antar pesonal seorang imigran dapat diamati melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antar personal dengan anggota-anggota masyarakat pribumi. Derajat keintiman dalam hubungan-hubungan individu telah dikembangkan dengan anggota masyarakat pribumi, merupakan salah satu indikator penting tentang kecakapan komunikasi pribumi yang telah diperolehnya. Komunikasi yang melibatkan hubungan antar personal mem-beri imigran maupun umpan balik yang serem-pak, yang secara langsung berfungsi sebagai kontrol perilaku-perilaku komunikasi imigran.
Ketiga, lingkungan komunikasi. Komuni-kasi personal dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pri-bumi. Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat kelengkapan kelembagaan komuni-tas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budaya yang khas bagi anggota-anggotanya (Taylor, 1979). Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antar budaya dan memudahkan akulturasinya. Pada akhirnya masyarakat pribumilah yang memberikan kebebasan atau keluwesan kepada imigran minoritas untuk menyimpang dari pola-pola budaya masyarakat pribumi yang dominan dan untuk mengembangkan lembaga-lembaga etnik.

2.    PERIODE SEJARAH TERJADINYA AKULTURASI DI SUMENEP

a.        Sumenep dengan Kerajaan Jawa Hindu/ Budha dan Islam
Daerah Sumenep dibuka pertama kali seba-gai kabupaten oleh Ario Adikoro Wiraraja atau Banyak Wide yang memerintah pada tahun 1269 - 1292. Beliau adalah Bupati yang dibentuk dan diangkat oleh Raja Singasari yang dikenal dengan Raja Kertanegara. Jadi saat itu Sumenep merupakan daerah bawahan kerajaan Singosari. Bupati-bupati pada kurun selanjutnya adalah tetap anak turun dari Ario Banyak Wide dan selalu berkiblat ke arah kerajaan di Jawa (Abdurachman, 1971). Bupati Sumenep ke 13 bernama Joko Tole (1415-1406) mulai memeluk agama Islam yang disiarkan dari Giri Kedaton Gresik. Sejak saat itu agama Hindu dan Budha berangsur-angsur surut dan digantikan oleh agama Islam yang memang sudah mulai tersebar luas di kawasan nusantara.
Bupati ke 16 adalah R.T Kanduruan, putra Raden Patah, Raja Islam Demak. Sedangkan Bupati Sumenep ke 21 yakni Pangeran Angga-dipa adalah putra Jepara, Jawa Tengah, dengan demikian maka kiblat kekuasaan dan kebuda-yaan Sumenep kini beralih ke Jawa Tengah sesuai dengan perpindahan kekuasaan saat itu. Maka terjadilah akulturasi kebudayaan Madura dengan kebudayaan Jawa. Diperkirakan ukiran kayu Jepara dan kesenian Islam yang tersebar di pantai Utara Jawa ikut tersebar ke Sumenep se-hingga kini tampak pola ukiran Madura di Karduluk Sumenep yang ada kemiripan dengan pola ukiran Jepara. Bahkan sampai sekarang kerajinan ukiran tersebut masih tetap ada, dengan motif-motif yang ada kesamaan dengan motif-motif ukir di Jawa Tengah, meskipun da-lam bentuk dan corak yang spesifik meng-gambarkan karakter Madura, yaitu bentuk pahatan yang tegas dan lugas, serta warnanya yang mencolok.
B. Sumenep dengan Imigran Cina 
Kontak antara masyarakat Madura dengan orang-orang Cina diperkirakan berawal pada saat datangnya tentara tartar dari Cina atau Monggolia di Mojopahit (+ tahun 1229) yang datang untuk memerangi Kertanegara. Raden Wijaya mulai bersahabat dengan pasukan Tartar, namun demikian akhirnya pasukan Tartar inipun ditumpas dan dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya Mojopahit. Kontak yang kedua terjadi pada masa perang Joko Tole melawan Dempo Awang, abad ke 15. Kontak yang ketiga diper-kirakan terjadi segera setelah Belanda mulai menguasai Madura, abad ke 18. Kontak yang keempat diperkirakan terjadi pada masa pem-berontakan Cina, orang-orang Cina di Batavia menyebar ke daerah-daerah yang dikuasai Kompeni. Hal ini terjadi pada abad ke 18. Di Sumenep banyak kedatangan orang-orang Cina yang kemudian kawin dengan orang Madura dan menetap di sana. Lauw Pia Ngo terkenal sebagai arsitek Keraton Sumenep, pada pemerintahan Panembahan Sumolo, abad ke 18. Pada bangunan Keraton dan Masjid Agung yang kini masih terawat baik, dapat dilihat pengaruh dari arsitektur Cina. Penyelesaian atap dan sebagian ornamen ukir-ukiran pada pintu dan jendela keraton dibuat dengan penuh langgam Cina. Pintu gerbang mengingatkan pada bentuk tembok Tiongkok, mimbar dan mihrabnya dise-lesaikan dengan porselin dari Cina. Pada rumah tinggal para pangeran juga dapat ditemukan hal serupa. Rumah Pangeran Letnan dan Pangeran Patih, bentuk atapnya mirip rumah koloni Cina yang dapat ditemukan di Batavia dan kota-kota besar di Jawa. Selain bidang perdagangan dan bangunan, banyak orang-orang Cina di Sumenep yang mempunyai usaha pertukangan dan kerajinan, oleh karena itu langgam Cina banyak ditemukan pada ukir-ukiran di Sumenep.
Sumenep dengan Kolonial Belanda Menurut buku "Tjareta Negraha Song-genep", Kompeni Belanda atau VOC datang di Sumenep pada kurun pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep kemudian takluk kepada kekuasaan Kompeni. Bahkan sepening-gal Raden Bugan, Kompeni ikut campur menen-tukan tampuk pemerintahan Sumenep, kemu-dian menentukan Raden Sudarmo, putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja, dibawa dan diasuh Kompeni di Batavia. Pada tahun 1704 Pangeran Cakraningrat meninggal dan di Mataram terjadi peristiwa penandatanganan antara Pangeran Puger dengan Kompeni, bahwa Kompeni mengakui kekuasaan Pangeran Puger yang saat itu sedang berselisih dengan Sunan Mas (Amangkurat III). Sebalik-nya Pangeran Puger berkewajiban menyerahkan sebagian dari tanah Jawa dan Madura bagian Timur kepada Kompeni. Dengan demikian untuk yang kedua kalinya Sumenep jatuh ke tangan Kompeni, dimana pada saat itu masa peme-rintahan Panembahan Romo (Cokronegoro II). Pada masa pemerintahan Alza (1744-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin Kyai Lesap dari Bangkalan. Pada saat itu Kyai Lesap menggalang kekuatan yang ada pada rakyat yang sudah benci kepada Kompeni. Ia berjuang dari Timur dengan menguasai Keraton Sume-nep. Kyai Lesap memerintah Sumenep hanya dalam waktu 1 tahun yaitu tahun 1749-1750. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Raden Ayu Tirtonegoro (1750-1762) keturunan dari Raden Bugan yang kemudian kawin dengan seorang ulama bernama Bendoro Saud. Bendoro Saud ini kemudian oleh Kompeni dinobatkan sebagai Bupati Sumenep.
Asirudin putra Bendoro Saud dan putra angkat dari Ratu Tirtonegoro, atas permintaan kedua orangtuanya, oleh Kompeni dikabulkan dan diangkat menjadi Bupati Sumenep menggantikan ayahnya. Ia memerintah pada tahun 1762-1811 bergelar Tumenggung Ario Noto-kusumo atau kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Sumolo. Dialah yang mendirikan Keraton Sumenep pada tahun 1781. Keraton Pejagalan (R. Ayu Tirtonegoro), Keraton Sumenep, Masjid Agung Sumenep dan Makam Asta Tinggi, dibangun pada kurun Sumenep dikuasai Kolonial Belanda. Jadi tidak mustahil kalau pada bangunan-bangunan terse-but akan ditemukan konsepsi arsitektur Kolonial atau pengaruh langgam arsitektur Belanda (Eropa). Pada saat itu Keraton Sumenep di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, kondisi ini sudah tentu secara politik menunjukkan ada-nya dominasi peran pemerintah Kolonial dalam setiap sisi kehidupan pemerintahan, baik sistem pemerintahan, lambang-lambang kerajaan, ter-masuk dalam bentuk arsitektur bangunan keraton yang menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya kolonial (Barat).
3.        WUJUD KOMUNIKASI DAN AKUL-TURASI BUDAYA MADURA, CINA DAN BELANDA PADA ARSITEKTUR-INTERIOR KERATON SUMENEP
Sifat meniru bukanlah hal yang tidak mung-kin dalam kebudayaan, akan tetapi merupakan sifat dari masyarakat dimanapun juga. Alfre Vierkandt seorang sosiolog terkenal berkata, "Die Nachamung ist eine der Wichtigsten Grundslagen fur die Erhaltung der Kultur", artinya peniruan adalah salah satu sendi yang penting dalam perkembangan kebudayaan. Pertemuan antara dua kebudayaan akan terjadi komunikasi pada kedua kebudaya terse-but, dan membawa akulturasi. Kebudayaan yang kuat dan atau dianggap baik biasanya mewarnai kebudayaan satunya. Bahkan dapat terjadi bah-wa dua kebudayaan saling berakulturasi, saling -mempengaruhi antara kebudayaan imigran dengan kebudayaan pribumi, yang pada akhir-nya akan melahirkan suatu kebudayaan baru. Kebudayaan baru tersebut bisa berupa norma-norma, perilaku, bahasa maupun kesenian, dian-taranya seni arsitektur. Adanya kebudayaan baru hasil akulturasi menunjukan peran komunikasi sangat vital dalam mendorong suatu proses akulturasi budaya. Proses komunikasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda, yang telah berlangsung cukup lama, terjadi berbagai penyesuaian antara bu-daya satu dengan budaya lainnya sehingga menghasilkan akulturasi budaya baru. Proses akulturasi budaya di Madura dimulai ketika pengaruh kerajaan Hindu dan Islam dari Jawa masuk ke Madura yang akhirnya menjadi cikal bakal budaya Madura. Pada perkembangan berikutnya masuklah budaya Cina yang dibawa oleh para imigran dan menghasilkan budaya Madura ditambah Cina. Sedangkan proses akul-turasi yang selanjutnya terjadi ketika kerajaan Sumenep berada di bawah kekuasaan Belanda, pada saat itulah terjadi akulturasi antara budaya Madura ditambah Cina dengan budaya kolonial (Barat), sehingga terlahir budaya baru yang sekarang terlihat pada bentuk arsitektur-interior keraton Sumenep. Proses akulturasi budaya serta pengaruhnya terhadap bentuk akulturasi interior bangunan kraton sumenep dijelaskan sebagai berikut:
1. Bentuk Asli Arsitektur Madura
Seperti telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa sejarah Madura dimulai pada masa Hindu/Islam di Jawa masuk ke Madura. Pengaruh Jawa tersebut sudah barang tentu menyebabkan bentuk-bentuk arsitektur-interior di Madura banyak diwarnai bentuk arsitektur-interior Jawa. Bentuk arsitektur rumah Jawa tersebut sampai sekarang masih dapat ditemu-kan pada sebagian rumah penduduk daerah
pinggiran. Bentuk arsitektur yang dipengaruhi oleh arsitektur Jawa tersebut antara lain berupa:
a. Rumah tipe Trompesan yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Srotongan yang diberi cukit atau teritis di kedua sisinya. Tipe rumah tersebut banyak terdapat di daerah Situbondo dan Bondo-woso.


b. Bentuk rumah tipe Pegun atau Potongan, yaitu rumah yang atapnya mirip dengan bentuk rumah Jawa tipe Limasan Pacul-gowang, sekarang masih banyak terdapat pada rumah tinggal di Jawa.





2. Pengaruh Arsitektur Cina
Orang Cina di Sumenep selain berusaha pada bidang perdagangan juga banyak yang tekun pada bidang pertukangan, maka pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas pada seni ba-ngunan di Sumenep. Bentuk hiasan penutup atap dan pengukiran atap dengan top gevel (gunung-gunung), keramik, porselin dari Cina, ukir-ukiran bentuk Naga dan Burung Phoenix atau Merak dan sebagainya merupakan pengaruh kebudayaan Cina. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada Tembok Raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang, mengesankan kekokohan dan ke-agungan. Interior ruang masjid jamik, seperti mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan nuan-sa pengaruh Cina yang sangat kuat.
a.Gambar 1 .Pintu gerbang Masjid Jamik Sumenep yang bentuknya mirip dengan tembok Raksasa Tiongkok. Dilatar belakang nampak bangunan masjidnya yang beratap Tajug tumpang tiga pengaruh arsitektur Jawa – Islam (Sumber: Dokumentasi Pribadi).


Tampak Timur Dalem Kraton yang din-dingnya tanpa teritis, mirip dinding Klenteng. Pada puncak dinding tembok, terdapat bentuk seperti kepala tugu yang amat mirip dengan bentuk cerobong asap di negeri Eropa (Belanda). Disini terlihat Akul-turasi Budaya Cina dan Belanda dalam Seni Bangun (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
3. Pengaruh Arsitektur Belanda (Barat)
Pada awal berdirinya kabupaten Sumenep kekuasaan Kolonial Belanda cukup lama (ku-rang lebih 3 abad) di Sumenep, dengan demikian masuklah (terjadi komunikasi antara budaya) pengaruh kebudayaan Belanda memberi warna pada kebudayaan Sumenep. Hal ini terlihat juga pada konsepsi ruang pada bangunan rumah tinggal kaum bangsawannya. Bangunan ini mirip dengan konsepsi ruang pada bangunan Kolonial Belanda yang banyak terlihat di Batavia dan kota-kota besar di Jawa yang disebut sebagai "landhuise", yakni bentuk arsitektur Belanda yang sudah disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Bentuk-bentuk ele-men bangunan seperti kolom banyak dibuat dengan gaya Arsitektur Belanda (Yunani). Bentuk-bentuk rumah tinggal Landhuise kini peninggalannya dapat dilihat pada beberapa rumah kaum bangsawan pedagang Arab dan Pakistan di daerah Kepanjen dan lain-lain. Wujud alkuturasi budaya asing yang masuk ke Kraton Sumenep dapat dilihat juga pada lambang Kraton Sumenep, yakni pengaruh Be-landa dengan mahkota yang lengkap dengan tanda salip di atasnya, Cina dengan lambang naga yang dapat terbang, serta Madura (Islam) dengan lambang kuda terbang, Merupakan suatu hal yang unik lambang Kraton dari Sultan (Islam) namun terdapat lambang salib (Katolik) di bagian puncaknya.
Gambar 8. Tampak depan Labang Mesem (Gapura Kraton). Hiasan tembok meniru bentuk Parthenon dengan pilar-pilarnya bergaya Ionic sebagai bentuk pengaruh arsitektur Belanda. Sedangkan atapnya bersusun mirip dengan Pagoda Cina (Sumber: Doku-mentasi Pribadi).

Gambar 9. Lambang Kraton Sumenep terdiri dari Mahkota Eropa (Kroons), kuda terbang, naga terbang, dan untaian bunga mawar


Interior dari Pringgitan (Teras Depan Dalem). Pilar-pilarnya bergaya Majapahit. Tinggi pintu ke ruang sekretariat Sultan kurang dari 3m, mirip dengan ukuran untuk orang Belanda. Lantai tegel sedang langit-langit dari papan jati (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Kesimpulan
Budaya dapat diartikan sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komuni-kasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Buda-ya juga merupakan pengetahuan yang dapat dikomunikasikan, sifat-sifat perilaku dipelajari dari anggota-anggota dalam suatu kelompok sosial dan wujud dalam lembaga-lembaga dan artefak-artefak mereka. Proses memperoleh pola-pola demikian disebut Inkulturasi atau istilah-istilah lain disebut pelaziman budaya dan pemprograman budaya. Akulturasi merupakan proses yang dilaku-kan imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses akul-turasi yang utama adalah unsur diterimanya kebudayaan asing yang diolah kedalam kebuda-yaan sendiri tanpa menyebabkan lenyapnya ke-pribadian kebudayaan asal. Proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinam-bungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Proses komunikasi mendasari proses akul-turasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan berfungsi sebagai perangkat alat penyesuaian diri, dalam membantu imigran memenuhi kebutuhan-kebu-tuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelang-sungan hidupnya dan kebutuhan akan rasa memiliki dan harga diri. Kraton Sumenep dan masjid Jamik diran-cang oleh arsitek Lauw Pia Ngo dari Negeri Cina, dibangun pada masa pemerintahan kolo-nial Belanda. Maka warisan budaya itu tidak luput dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan Belanda. Pengaruh budaya-budaya tersebut tampak pada penampilan dan penyele-saian bangunan-bangunan tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki bentuk bangunan Jawa. Pendopo dengan atap Limasan Sinom dan bubungannya dihiasi dengan bentuk mencuat seperti kepala naga, merupakan penga-ruh Cina. Sedangkan bangunan dalem terdapat bentuk gunung (top level) yang telanjang tanpa teritis dan diselesaikan dengan bentuk mirip cerobong asap di puncaknya, merupakan bukti pengaruh Belanda dan Cina. Pada ragam hiasnya juga nampak beberapa pola Jawa, Islam dan Cina yang dipadu cukup menarik. Bentuk arsitektur Kraton Sumenep, menun-jukkan wujud adanya akulturasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda. Dengan akulturasi tersebut menunjukkan telah terjadi komunikasi antar budaya baik budaya imigran maupun pri-bumi. Adanya komunikasi budaya mengakibat-kan proses akulturasi sebuah budaya menjadi lebih cepat terbentuk.

REFERENSI
-           Abdurachman. 1976. Pengantar Sejarah Jawa Timur. Jiild I, Cetakan I. Sumenep:
-           Abdurachman. 1971. Sejarah Madura Se-lanyang Pandang. Sumenep:
-           1975. Rumah Tradisional Madura. Sura-baya: Fakultas Teknik Arsitektur Institut Sepuluh `November Surabaya.
-           Kartosoedirdjo, Tjareta Naghara Soanggennep. 1921. Overdruk uit de Handelingen vanhet Eerste Congres voor de Taal, Land, en Volkenkunde van Java. Weltevreden : Albrecht & Co.
-           Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Pene-litian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
-           Koentjaraningrat. 1977. Antropologi Sosial, Be-berapa Pokok. Jakarta: PT Dian Rakyat.
-          Jordan, Roy E. 1979. Penelitian Rumah Tradi-sional Madura. Makalah seminar PPM tahun 1979 di Malang.
-           Taylor, Robert B. 1979. Introduction to Cultural Anthropology. Boston: Allyn and Bacon, Inc,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar