GANGGUAN PERKEMBANGAN JIWA
KEAGAMAAN
A. Pengertian
Jiwa Keagamaan
Didalam
al-qur’an terdapat istilah-istilah yang dikaitkan dengan pengertian psikologi
antara lain, nafs, ruh dan af’idah, disampaing masih banyak lagi
istilah-istilah lain yang sedikit banyak memeliki hubungan dengan pengerian
psikologi. Maka, ”Nafs” sering diterjemahkan sebagai ”Jiwa, diri, atau
pribadi”. Al-qur’an memberi tingkatan nafs atau pribadi dalam tiga macam, yaitu:
1. Nafsu al-amarah, yaitu pribadi yang
cenderung pada kejahatan, jiwa yang cenderung mengikuti kebutuhan biologis,
hawa nafsu belaka.
2. Nafsu al-lawwamah, yaitu pribadi yang
menyesali karena sering mengalami konflik batin. Antara kecenderungan mengikuti
hawa nafsu, dengan kesadaran hati nurani mengikuti tuntunan ilahi. Ia akan
menyesali dirinya sendiri, karena dalam perjuangannya menuju kebaikan masih
sering dikalahkan hawa nafsunya.
3. Nafsu al-mutmainnah, yaitu pribadi yang
tenang dan matang karena tulus melaksanakan kewajiban seseuai kemampuan dan
ridha menjauhi larangan, sehingga kejiwaannya berkembang selaras dengan
fitrahnya.
Jiwa
keagamaan sebenarnya merupakan wujud mental dari pribadi, yaitu sikap dan
perilaku keagamaan yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian yang
dalam proses perkembangannya bisa mengalami pasang surut.
Dalam
perkembangan jiwa seseorang, pengalaman kehidupan beragama sedikit demi sedikit
makin mantap sebagai unit yang otonom dalam keperibadiannya. Unit ini merupakan
suatu organisasi yang disebut ”kesadaran beragama” sebagai suatu hasil peran
fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi dan inteligensi. Motivasi berfungsi
sebagai daya penggerak mengarahkan kehidupan mental. Emosi berfungsi melandasi
dan mewarnai, sedangkan inteligensi yang mengorganisasi dan mempolakannya. Bagi
seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang matang, pengalaman kehidupan
beragama yang terorganisasi tadi merupakan pusat kehidupan mental yang mewarnai
keseluruhan aspek kepribadiannya. Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah
dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan
penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar.
Meski
kesadaran beragama itu melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah
pada berbagai macam obyek, akan tetapi tetap merupakan suatu sistem yang
terorganisasi sebagai bagian dari sistem mental seseorang. Jadi kedasaran
beragama yang mantap ialah suatu disposisi dinamis dari sistem mental yang
terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian untuk mengadakan
tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, penyesuaian diri dalam
bertingkah laku, dan itu merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti.
Dengan demikian kesadaran beragama seseorang tak pernah mencapai kesempurnaan.
Ia akan berusaha terus mencapai kepribadian yang diidealkan yang dalam bahasa
al-qur’an mencapai tingkatan ”Nafsu al-mutmainnah” sebuah prestasi pribadi yang
sangat tinggi dihadapan Allah yang dalam istilah agama yang lain disebut tingkatan
”Taqwa”.
Berbicara
jiwa keagamaan dalam pribadi yang matang pada hakekatnya adalah berbicara
tentang manusia sebagai ”khalifahtullah fil ardhi” yang dibekali tambahan
hidayah yaitu akal dan agama sebagai suatu kesatuan hidayah Tuhan yang
bersimbiosis dalam diri manusia, karena sebenarnya produk keduanya (agama dan
akal) dalam banyak hal tak bisa dipisahkan meski dapat dibedakan. Apalagi jiwa
keagamaan yang mantap dalam pribadi yang matang akan mampu membentuk mental
attitude yang siap menghadapi segala bentuk penyakit fisik maupun psikis.
Jiwa
keagamaan sebagai sistem mental kepribadian yang dinamis dan historik jelas
hanya akan tumbah dalam pribadi yang matang yang dilukiskan agama sebagai Nafs
al-mutmainnah yaitu pribadi yang tenang dan matang kerena telah mencapai
tingkatan mental takwa, atau dalam tataran perilaku disebut ihsan yaitu tingkat
ketulusan berbuat yang terbaik semata untuk mencari keridkaan Allah.
Secara
teoritis, kepribadian yang matang memiliki ciri- ciri seperti di ungkapkan
Gordon W. Allport antara lain:
* Kemampuan mengembangkan kebutuhan
psikologis, ruhaniah menuju pada pemuasan ideal, mampu mengendalikan hawa nafsu
dengan menghargai norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
* Kemampuan instruspeksi dan merefleksi
diri sendiri, memandang diri sendiri secara obyektif untuk mendapatkan
pemahaman tentang hidup dan kehidupan.
* Memiliki falsafah hidup yang utuh, yaitu
pandangan hidup yang terarah dan pola hidup yang terintegrasi.
Kematangan
kepribadian yang didasari jiwa keagamaan akan menunjukkan kematangan sikap
dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada
dimasyarakat, juga terbuka terhadap semua realitas, serta mempunyai arah tujuan
yang jelas dalam cakrawala hidup. Dampak dari semua itu, aspek kejiwaannya
terhindar dari sikap yang impulsif, egosentris dan fanatik buta, ia
mengedepankan kebenaran dan toleran terhadap perbedaan.
Kepribadian
yang didasari jiwa keagamaan akan terhidarkan dari ketidakstabilan jiwa yang
terjadi bisa karena gangguan kesehatan badan, gangguan lingkungan sosial, atau
karena situasi baru yang dihadapi individu yang dapat menggoncangkannya. Proses
konflik psikis ini dapat membuat individu “sangat kuat rasa bencinya (higly
disagreeable) yang dapat mengubah kestabilan mental emosional individu.
Imam
ar-Razy menyatakan, al-amradhu er ruhaniyyah atau gangguan rohaniyah itu ialah
segala hal yang tidak menuruti petunjuk agama, atau dalam arti lain imannya
yang masih belum kuat. Senada dengan Sigmund Freud, ego seseorang akan merasa
bangga kalau dia hidup atau bertabiat sebagai orang-orang yang baik (saleh),
memikirkan dan melaksanakan yang baik-baik, dan merasa malu kepada diri sendiri
jika dia dikalahkan oleh godaan-godaan (maksiat). Disinilah biasanya budaya
buruk masyarakat yang terdapat dalam lingkungan memiliki peran yang negatif
terhadap kepribadian seseorang. Artinya jiwa keagaamaan yang ada tidak serta
merta selamanya stabil dalam diri seseorang, apalagi kebanyakan keimanan
seseorang itu merupakan kondisi kejiwaan yang bisa bertambah dan berkurang,
terutama bagi mereka yang masih tergolong tingkatan nafsu al-lawwamah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar