KEPRIBADIAN DAN SIKAP KEAGAMAAN
- Pengertian Kepribadian
Menurut
Pervin dan John:
kepribadian mewakili karakteristik individu
yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten.
Dalam
teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe
(type). Trait sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang menggambarkan
unit/dimensi dasar dari kepribadian. Trait menggambarkan konsistensi respon
individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan
bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat
regularity dan generality yang lebih besar daripada trait.
Trait
merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang
tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan
teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
* Trait merupakan pola konsisten dari
pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain,
sehingga:
- Trait relatif stabil dari waktu ke
waktu
- Trait konsisten dari situasi ke
situasi
*
Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun
karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
- ada proses adaptif
- adanya perbedaan kekuatan, dan
- kombinasi dari trait yang ada
Tingkat
trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa dewasa.
McCrae dan Costa yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang
sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil,
konfigurasi yang tetap stabil setelah usia 30 tahun (Feist, 2006).
- Sikap Keagamaan
Sikap
keagamaan dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan
perilaku keagamaan, dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak,
berbagai pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi
yang kita terima dari masa lampau. Mungkin kita cendrung menganggap faktor ini
kurang penting dalam perkembangan agama kita dibandingkan dengan penelitian
para ahli psikologi. Tidak ada seorang pun di antara kita dapat mengembangkan
sikap-sikap keagamaan kita dalam keadaan terisolasi dari saudara-saudara kita
dalam masyarakat. Sejak masa kanak-kanak hingga masa tua kita menerima dari
perilaku orang-orang di sekitar kita dan dari apa yang mereka katakan
berpengaruh terhadap sikap-sikap keagamaan kita. Tidak hanya
keyakinan-keyakinan kita yang terpengaruh oleh faktor-faktor sosial, pola-pola
eksperesi emosianal kita pun, sampai batas terakhir, bisa dibentuk oleh
lingkungan sosial kita.
Faktor-faktor
sosial juga tampak jelas dalam pembentukan keyakinan keagamaan, tetapi secara
prinsip ia tidak melalui penampilan yang berlandasan penalaran sehingga
keyakinan-keyakinan seseorang terpegaruh oleh orang lain. Tidak diragukan sama
sekali bahwa penalaran memainkan peranan dalam intraksi timbal-balik di antara
berbagai sistem keyakinan banyak orang, tetapi peranan jauh lebih kecil dibandingkan
dengan proses-proses psikologik lain yang non-rasional. Tidak ada seseorang pun
dapat beranggapan banwa cara untuk mengajarkan tentang Tuhan kepada anak kecil
adalah dengan mengemukakan argumen rasioanal mengenai adanya Tuhan itu.
Pengajaran harus dilakukan lebih dahulu, sedangkan saat bagi argumen-argumen
penegasan tentang kebenaran ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh orang-orang
terhormat (terutama bila penegasannya diulang-ulang dan dengan penuh keyakinan)
mungkin berpengaruh yang didasarkan atas penalaran, adalah sugesti. Agar kita
dapat memahami faktor sosial dalam agama itu, kita harus menelaah psikologi
segesti ini.
Konflik
Moral
Ahli
psikologi tidak mau membicarakan masalah-masalah filosofik yang berkaitan
dengan hakikat kewajiban-kewajiban filosofik yang berkaitan dengan hakikat
kewajiban-kewajiban yang disebabkan oleh hukum moral itu. Hukum moral bisa
dianggap sebagai sistem tatanan sosial yang dikembangkan oleh suatu masyarakat
dan diteruskan kepada generasi-genarasi berikutnya melalui proses pengkondisian
sosial. Di pihak lain, ia juga dapat dianggap sebagai sistem kewajiban yang
mengikat manusia tanpa mempermasalahkan apakah sistem itu bermanfaat atau tidak
dilihat dari sisi sosial.
Sejumlah
masyarakat menyatakan bahwa kewajiban-kewajiban ini dikendalikan secara
intuitif; sementara masyarakat-masyarakat lainnya berpendapat bahwa
kewajiban-kewajiban itu bisa didedukasikan dengan berbagai proses penalaran,
dan masyarakat-masyarakat lainnya lagi menganggpa kewajiban-kewajibab itu
diwahyukan [oleh Tuhan] secara adikodrati. Apapun jawaban yang bisa diberikan
terhadap persoalan-persoalan etik ini, masalah yang penting bagi ahli psikologi
adalah bahwa konflik moral itu merupakan fakta psikologik yang benar-benar ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar