TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG
MENYIMPANG
A.
Pengertian
Perilaku Menyimpang
Perilaku
menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut
oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang disebut nonkonformitas.
Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas, yaitu bentuk interaksi
seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang
bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat.
Norma
dan nilai bersifat relatif dan mengalami perubahan dan pergeseran. Suatu
tindakan di masa lampau dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sekarang hal itu
dianggap biasa. Contoh, dahulu seorang anak apabila diberi nasihat oleh orang
tuanya, hanya menunduk saja. Akan tetapi, anak sekarang ketika berinteraksi
dengan orang tuanya bisa mengemukakan pendapatnya. Begitu pula
ketentuan-ketentuan sosial di dalam suatu masyarakat berbeda, dengan
ketentuan-ketentuan sosial di dalam masyarakat lain. Akibatnya, tindakan yang
bagi suatu masyarakat merupakan penyelewengan, bagi masyarakat merupakan suatu
tindakan yang biasa. Umpamanya: Masyarakat patrilineal tidak membolehkan
perkawinan yang masih bersaudara, tetapi dalam masyarakat lainnya bisa
dilaksanakan. Hal itu berarti bahwa norma dan nilai bersifat relatif.
Perilaku
menyimpang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dalam
masyarakat. Pada masyarakat tradisional, proses penyesuaian sangat kuat. Dalam
masyarakat pedesaan, tradisi dipelihara dan dipertahankan. Warga desa cenderung
tidak mempunyai pemikiran lain, kecuali menyesuaikan diri dengan norma-norma
yang berlaku, yaitu berdasarkan ukuran yang telah dijalankan oleh nenek
moyangnya.
Masyarakat
perkotaan mempunyai kecenderungan berupa menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang ada. Dengan globalisasi, komunikasi, informasi, dan
teknologi, masyarakat kota dimungkinkan melakukan penyimpangan yang lebih besar
dibandingkan dengan masyarakat desa. Hal ini ter adi karena setiap individu
kurang saling mengenal dan kurang adanya interaksi, sehingga mereka tidak tabu
urusan orang lain. Kontrol sosial dalam masyarakat pedesaan tidak dapat diterapkan
di masyarakat perkotaan.
B.
Teori-teori
Penyimpangan
Teori
Differential Association (pergaulan yang berbeda) dikemukakan oleh Edwin H.
Sutherland. Ia berpendapat bahwa penyimpangan bersumber dari pergaulan yang
berbeda. penyimpangan itu terjadi melalui proses alih budaya, yaitu proses
mempelajari budaya yang menyimpang. Contoh: proses perilaku homoseksual. Teori
lain mengenai penyebab perilaku menyimpang dikemukakan oleh Edwin M. Lemert
dengan teori Labeling. Seseorang yang baru melakukan penyimpangan pada tahap
pertama oleh masyarakat sudah diberi cap; sebagai penyimpang, misalnya disebut
penipu, pencuri, wanita nakal, dan orang gila. Dengan demikian, pelaku akan
terdorong untuk melakukan penyimpangan tahap berikutnya dan akhirnya akan
menjadi suatu kebiasaan.
Robert
K. Merton mengemukan teori yang menjelaskan bahwa peri~ku menyimpang merupakan
penyimpangan melalui struktur sosial. Dalam struktur sosial dijumpai tujuan
atau kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang pantas -dan baik.
Cara-cara buruk seperti menipu tidak dibenarkan. Perilaku menyimpang terjadi
kalau ada ketimpangan antara tujuan yang ditetapkan clan cara atau sarana untuk
mencapai tujuan. Teori Merton adalah struktur sosial yang menghasilkan tekanan
ke arah memudamya kaidah (anomie) dan perilaku menyimpang. Keadaan yang tanpa
kaidah dapat menimbulkan Sikap mental yang negatif. Sikap mental itu misalnya
usaha mencapai tujuan secepatnya tanpa menurut kaidah yang ditentukan. Sikap
itu disebut menerobos atau potong kompas. Misalnya berusaha menjadi orang kaya
mendadak dengan cara mencuri.
Merton
mendefinisikan lima tipe adaptasi terhadap situasi, sebagai berikut:
a.
Konfonnitas (conforinity), adalah perilaku yang mengikuti tujuan dan mengikuti
cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan (cara konvensional dan
melembaga).
b.
Inovasi (Innovation), adalah perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan
masyarakat dan memakai cara yang dilarang oleh masyarakat, termasuk tindakan
kriminal.
c.
Ritualisme (ritualism), adalah perilaku seseorang yang telah meninggalkan
tujuan budaya, tetapi masih berpegang pada cara-cara yang telah digariskan
masyarakat, misalnya upacara dan perayaan masih diselenggarakan, tetapi makna
dan fungsinya telah hilang.
d.
Pengunduran diri (retreatism), adalah meninggalkan baik tujuan konvensional
maupun cara pencapaian yang konvensional, sebagaimana yang dilakukan oleh para
pecandu obat bius, pemabuk, gelandangan, dan orang-orang gagal lainnya.
e.
Pemberontakan (rebellion), adalah penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional
yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru, misalnya
para reformis agama.
C.
Faktor-faktor Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang
Pada
kehidupan sosial dikenal bentuk tata aturan yang di sebut norma. Norma dalam
kehidupan sosial merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi tolak ukur tingkah
laku sosial. Jika tingkah laku yang di perlihatkan sesuai dengan norma yang
berlaku, maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima, sebaliknya, jika
tingkah laku tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku,
maka tingkah laku tersebut dinilai buruk dan ditolak. Tingkah laku yang
menyalahi norma yang berlaku ini disebut dengan tingkah laku yang menyimpang.6
Penyimpangan
tingkah laku ini dalam kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan
keresahan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat beragama penyimpangan yang
demikian itu sering terlihat dalam bentuk tingkah laku aliran keagamaan yang
menyimpang dari ajaran induknya. Adanya perilaku menyimpang terhadap suatu
agama tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yang secara garis besar
dibagi menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, di
antaranya:
1.
Kepribadian, secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan
jiwa seseorang.
2.
faktor pembawaan, ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi
penyimpangan agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami
tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan keduanya sering
mengalami stress jiwa. Kondisi ini juga mempengaruhi terjadinya penyimpangan
agama.
Faktor
ekstern, di antaranya :
1.
Faktor keluarga, keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama,
kesepian, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat, dan lainnya.
2.
Lingkungan tempat tinggal, orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat
tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup
sebatangkara.
3.
Perubahan status, terutama yang beralangsung secara mendadak akan banyak
mempengaruhi terjadinya penyimpangan agama. Misalnya, perceraian, keluar dari
sekolah atau perkumpulan perubahan pekerjaan, dan sebagainya.
4.
Kemiskinan, masyarakat yang awam dan miskin cenderung untuk memeluk agama yang
menjanjikan kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik dengan cara instant.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar