Kamis, 26 Mei 2011

TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG; PSIKOLOGI AGAMA


TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG

A.    Pengertian Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang disebut nonkonformitas. Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas, yaitu bentuk interaksi seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Norma dan nilai bersifat relatif dan mengalami perubahan dan pergeseran. Suatu tindakan di masa lampau dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sekarang hal itu dianggap biasa. Contoh, dahulu seorang anak apabila diberi nasihat oleh orang tuanya, hanya menunduk saja. Akan tetapi, anak sekarang ketika berinteraksi dengan orang tuanya bisa mengemukakan pendapatnya. Begitu pula ketentuan-ketentuan sosial di dalam suatu masyarakat berbeda, dengan ketentuan-ketentuan sosial di dalam masyarakat lain. Akibatnya, tindakan yang bagi suatu masyarakat merupakan penyelewengan, bagi masyarakat merupakan suatu tindakan yang biasa. Umpamanya: Masyarakat patrilineal tidak membolehkan perkawinan yang masih bersaudara, tetapi dalam masyarakat lainnya bisa dilaksanakan. Hal itu berarti bahwa norma dan nilai bersifat relatif.
Perilaku menyimpang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional, proses penyesuaian sangat kuat. Dalam masyarakat pedesaan, tradisi dipelihara dan dipertahankan. Warga desa cenderung tidak mempunyai pemikiran lain, kecuali menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku, yaitu berdasarkan ukuran yang telah dijalankan oleh nenek moyangnya.
Masyarakat perkotaan mempunyai kecenderungan berupa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada. Dengan globalisasi, komunikasi, informasi, dan teknologi, masyarakat kota dimungkinkan melakukan penyimpangan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat desa. Hal ini ter adi karena setiap individu kurang saling mengenal dan kurang adanya interaksi, sehingga mereka tidak tabu urusan orang lain. Kontrol sosial dalam masyarakat pedesaan tidak dapat diterapkan di masyarakat perkotaan.
B.     Teori-teori Penyimpangan
Teori Differential Association (pergaulan yang berbeda) dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Ia berpendapat bahwa penyimpangan bersumber dari pergaulan yang berbeda. penyimpangan itu terjadi melalui proses alih budaya, yaitu proses mempelajari budaya yang menyimpang. Contoh: proses perilaku homoseksual. Teori lain mengenai penyebab perilaku menyimpang dikemukakan oleh Edwin M. Lemert dengan teori Labeling. Seseorang yang baru melakukan penyimpangan pada tahap pertama oleh masyarakat sudah diberi cap; sebagai penyimpang, misalnya disebut penipu, pencuri, wanita nakal, dan orang gila. Dengan demikian, pelaku akan terdorong untuk melakukan penyimpangan tahap berikutnya dan akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan.
Robert K. Merton mengemukan teori yang menjelaskan bahwa peri~ku menyimpang merupakan penyimpangan melalui struktur sosial. Dalam struktur sosial dijumpai tujuan atau kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang pantas -dan baik. Cara-cara buruk seperti menipu tidak dibenarkan. Perilaku menyimpang terjadi kalau ada ketimpangan antara tujuan yang ditetapkan clan cara atau sarana untuk mencapai tujuan. Teori Merton adalah struktur sosial yang menghasilkan tekanan ke arah memudamya kaidah (anomie) dan perilaku menyimpang. Keadaan yang tanpa kaidah dapat menimbulkan Sikap mental yang negatif. Sikap mental itu misalnya usaha mencapai tujuan secepatnya tanpa menurut kaidah yang ditentukan. Sikap itu disebut menerobos atau potong kompas. Misalnya berusaha menjadi orang kaya mendadak dengan cara mencuri.

Merton mendefinisikan lima tipe adaptasi terhadap situasi, sebagai berikut:
a. Konfonnitas (conforinity), adalah perilaku yang mengikuti tujuan dan mengikuti cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan (cara konvensional dan melembaga).
b. Inovasi (Innovation), adalah perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat dan memakai cara yang dilarang oleh masyarakat, termasuk tindakan kriminal.
c. Ritualisme (ritualism), adalah perilaku seseorang yang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi masih berpegang pada cara-cara yang telah digariskan masyarakat, misalnya upacara dan perayaan masih diselenggarakan, tetapi makna dan fungsinya telah hilang.
d. Pengunduran diri (retreatism), adalah meninggalkan baik tujuan konvensional maupun cara pencapaian yang konvensional, sebagaimana yang dilakukan oleh para pecandu obat bius, pemabuk, gelandangan, dan orang-orang gagal lainnya.
e. Pemberontakan (rebellion), adalah penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru, misalnya para reformis agama.
    C. Faktor-faktor Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang
Pada kehidupan sosial dikenal bentuk tata aturan yang di sebut norma. Norma dalam kehidupan sosial merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi tolak ukur tingkah laku sosial. Jika tingkah laku yang di perlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima, sebaliknya, jika tingkah laku tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku tersebut dinilai buruk dan ditolak. Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku ini disebut dengan tingkah laku yang menyimpang.6
Penyimpangan tingkah laku ini dalam kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat beragama penyimpangan yang demikian itu sering terlihat dalam bentuk tingkah laku aliran keagamaan yang menyimpang dari ajaran induknya. Adanya perilaku menyimpang terhadap suatu agama tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, di antaranya:
1. Kepribadian, secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang.
2. faktor pembawaan, ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi penyimpangan agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan keduanya sering mengalami stress jiwa. Kondisi ini juga mempengaruhi terjadinya penyimpangan agama.
Faktor ekstern, di antaranya :
1. Faktor keluarga, keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat, dan lainnya.
2. Lingkungan tempat tinggal, orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatangkara.
3. Perubahan status, terutama yang beralangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya penyimpangan agama. Misalnya, perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan perubahan pekerjaan, dan sebagainya.
4. Kemiskinan, masyarakat yang awam dan miskin cenderung untuk memeluk agama yang menjanjikan kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik dengan cara instant.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar