Kamis, 21 Juli 2011

MENANGANI ORANG LANJUT USIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Masyarakat Dan Penuaan
Dengan semakin besar proporsi populasi orang-orang lanjut usia (lansia) beserta heterogenitas, pengalaman hidup yang kompleks, dan perubahan demografis dalam populasi, penting bagi professional kesehatan mental untuk bersiap-siap mengakses dan menagngani klien-klien lansia. Terlepas dari kecenderungan untuk memandang lansia sebagai populasi yang homogen dilihat dari nilai-nilai, motif, status social psikologis serta perilakunya, penelitian menunjukkan bahwa lansia adalah populasi yang sangat beragam dan heterogen (Jackson, Chatter, dan Taylor, 1993; Williams, Lavizzo-Mourey, dan Warren, 1994). Mereka memiliki karakteristik-karakteristik yang sama dan yang berbeda dengan kelompok-kelompok usia lainnya.
Dalam mengonseptualisasikan penuaan, pembedaan yang berfaedah adalah dengan membedakan antara the young-old dan the oldest-old (Berger dan Thompson, 1998). Istilah oldest-old mengacu pada orang-orang yang berumur 85 tahun keatas. Tetapi, sebagian peneliti khawatir apabila pembedaan itu dapat menjadikan pensetereotipan terhadap kelompok the oldest-old (Binstock, 1992). Ini poin yang penting karena umur kronologis bukan satu-satunya faktor yang menentukan bagaimana orang menyesuaikan diri terhadap penuaannya. Keadaan pikiran, kebiasaan terkait kesehatan, dan pandangan social dan psikologis secara umum tentang hidup juga menentukan penyesuaian terhadap penuaan. Di Amerika jumlah penduduk berusia 65 tahun atau lebih deperkirakan akan meningkat dari 35 juta pada tahun 2000 menjadi 78 juta pada tahun 2050, peningkatan jumlah tertinggi dibandingkah kelompok usia lain. Di seluruh dunia jumlah individu berusia di atas 65 tahun mencapai 750 juta pada tahun 2050.



Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti. Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan , penolakan, dan keputusasaan. Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Profisensi Di Bidang Geropsikologi
 Tren dalam penggunaan pelayanan psikologis oleh lansia telah mengalami perubahan. Kohort-kohort (sejumlah orang yang lahir pada tahun lebih kurang sama) suksesif memiliki tingkat pendidikan dan sikap penerimaan yang lebih tinggi terhadap psikologi. Rokke dan Scorgin (1995), misalnya menunjukkan bahwa lansia menganggap terapi kognitif lebih kredibel dan akseptabel dari pada terapi obat untuk depresi. Pendapat ini berlawanan dengan pemikiran yang sering dilontarkan bahwa lansia lebih menyukai terapi obat  dan merasa terstigmatisasi bila diberi rekomendasi psikoterapi. Jadi, psikolog dapat bertindak lebih aktif dalam menjangkau lansia untuk diberi pelayanan dan dapat berharap bahwa lansia itu akan menyambutnya dengan baik.
Untuk menjawab isu-isu tanggung jawab dan kompetensi dalam memberikan perhatian pada psikologi dan penuaan. American Psychological Association telah mengembangkan berbagai pedoman terkait dengan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi profesien dibidang geropsikologi (APA Interdivisional Task Force, 1999). 13 bidang yang disebutkan meliputi:
  1. Penelitian dan teori tentang penuaan
  2. Psikologi kognitif dan perubahan
  3. Aspek-aspek sosial psikologis penuaan
  4. Aspek-aspek biologis penuaan
  5. Psikopatologi dan penuaan
  6. Masalah-masalah kehidupan sehari-hari
  7. Faktor-faktor sosiokultural dan social-ekonomi
  8. Isu-isu khusus dalam asesmen lansia
  9. Penanganan lansia
  10. Pencegahan dan pelayanan intervensi krisis pada lansia
  11. Konsultasi
  12. Interface dengan disiplin-disiplin lain
  13. Isu-isu etik khusus dalam menyediakan pelayanan kepada lansia
B. Psikopatologi Pada Lansia
Angka psikopatologi dalam populasi lansia yang hidup di masyarakat maupun diberbagai institusi kira-kira 22% (Gatz dan Smyer, 1992).
  1. Depresi
Diagnosis Major Despressive Disorder (gangguan depresi berat) dalam DSM-IV mensyaratkan keberadaan suasana perasaan berupa depresi atau kehilangan minat  pada berbagai kegiatan, letih, kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, dan perasaan tidak berharga. Dysthimia, sebuah gangguan suasana perasaan yang sering muncul sebelum episode-episode depresif berat, mensyaratkan lebih sedikit gejala tetapi durasi “feeling blue” yang lebih panjang (American Psychiatric Association, 1994).
Depresi tidak hanya menyerang lansia yang memiliki riwayat masalah emosional saja, tetapi hampir semua lansia bisa terkena depresi. Hal ini karena depresi bisa dipicu oleh trauma, penyakit, kesepian, sakit kronis, keuangan, kematian orang terdekat, kehilangan pekerjaan, atau perubahan dalam kehidupan.
  1. Kecemasan
Informasi yang ada tentang gangguan kecemasan pada lansia sangat terbatas, meskipun gangguan ini lebih banyak terjadi dalam populasi ini dibanding depresi (Beck dan Stenley, 1997). Kriteria diagnosis untuk gangguan kecemasan yang menjadi focus perhatian pada lansia didefinisikan sebagai berikut (American Psychiatric Association, 1994):
  1. Gangguan panik dideskripsikan sebagai episode-episode aprehensi intens, palpitasi, nyeri dada, dan napas pendek yang mendadak, yang berulang kali muncul.
  2. Fobia ditandai oleh ketakutan dan penghindaran yang melampaui besarnya bahaya riilnya.
  3. Generalized Anxiety Disorde (GAD) (gangguan kecemasan menyeluruh) menyangkut kecemasan dan kekhawatiran yang persisten dan tak terkontrol.
  4. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Gangguan Stes Paska-Trauma) mengacu pada pengalaman emosional yang dirasakan kembali seperti saat mengalami kejadian traumatis intens, yang disertai dengan penghindaran rangsangan fisiologis dari hal-hal yang berhubungan dengan trauma itu.
Angka preferensi gangguan kecemasan dikalangan lansia adalah 5,5% (Regier, dkk., 1988).
  1. Demensia
Dimensia ditandai oleh kehilangan fungsi sedemikian rupa sehingga menghendaya performa dalam kegiatan sehari-hari. Kriteria diagnostik mensyaratkan bahwa orang itu memiliki ingatan yang terhendaya (paling tidak dua deviasi standar dibawah rata-rata untuk umur dan pendidikan tertentu dari berbagai tes) dan penurunan, paling tidak, pada satu ranah fungsi kognitif lain yang mempengaruhi fungsi sehari-hari (American Psychiatric Association, 1994).
Pada umur 65 tahun, hanya 1% diantara populasi yang akan mengalami demensia; pada umur 85 tahun, 30% - 35% akan mengalami demensia; dan 50% lansia yang berumur 90 tahun keatas akan menerima diagnosis demensia.
Ada beberapa indikasi demensia atau cognitive slippage (kecenderungan berbagai pikiran untuk saling mengikuti dengan cara-cara yang tidak logis atau tidak dapat diprediksi) pada lansia, yaitu:
  1. Kesulitan dalam mempelajari dan mengingat informasi baru.
  2. Problem salving dirumah dan ditempat kerja yang terhendaya.
  3. Bermasalah dalam menangani tugas-tugas yang kompleks.
  4. Berbagai masalah yang mengikuti rentetan pikiran yang kompleks.
  5. Mengalami kesulitan pada tugas-tugas yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah (misalnya menulis cek).
  6. Mengalami kesulitan untuk pergi keberbagai tempat dilingkungan yang sangat dikenalnya.
  7. Mengalami masalah dalam menemukan kata-kata.
  8. Perubahan perilaku (apati, disengagement, kepasifan, iritabilitas, kecurangan yang meningkat).
C. Masalah-masalah lain yang Dapat Menjadi Fokus Penanganan
  1. Kesehatan
Satu hal yang perlu dicatat adalah lansia memiliki lebih banyak masalah kesehatan, dan status psikologisnya terkait erat dengan status fisik dan fungsionalnya (Zeiss, dkk., 1996). Masalah-masalah kesehatan sering menjadi bagian penting dari dari terapi lansia. Banyak lansia yang memiliki masalah-maslah kesehatan kronis. Psikolog menerapkan beberapa strategi yang membantu mengelola rasa sakit, termasuk teknik-teknik relaksasi dan biofeedback (ini akan didiskusikan lagi dibab berikutnya). Kepatuhan terhadap aturan minum obat dan adaptasi terhadap perubahan hidup juga merupakan topik yang sering muncul dalam terapi lansia.
  1. Penganiayaan Lansia
Elder abuse (penganiayaan lansia) di Amerika pada tahun 1970-an ada penekanan pada usaha menetapkan istilah penganiayaan, cara melapor, dan strategi penanganan yang tepat untuk itu. Lima macam penganiayaan yang sering teridentifikasi adalah:
  1. Penganiayaan dan penelantaran secara fisik.
  2. Penganiayaan finansial.
  3. Pelanggaran hak asai.
  4. Pelanggaran process rights (oleh orang lain dengan menggunakan guardianships atau conserfatorships).
  5. Penganiayaan psikologis.
  1. Insomnia
Insomnia/sulit tidur adalah masalah yang lazim dialami lansia; sleep-maintenance insomnia adalah kondisi terkait umur dan membuat penderitanya lemah (Bootzin, Engle-Friedman, dan Hazelwood). Dalam sleep education, terapis mengajari klien tentang perubahan-perubahan tidur terkait umur; efek kafein, nikotin, alkohol, bantuan tidur olah raga, dan nutrisi; dan efek minimal dari deprivasi/kekurangan tidur bagi kebanyakan orang. Kebanyakan orang bisa kehilangan waktu tidur tanpa mengakibatkan masalah kesehatan.
Bagi sebagian klien, komponen terapi kognitif yang diadaptasi untuk imsomnia juga dapat ditambahkan. Ini membantu klien dalam;
  1. Mengidentifikasi pikiran-pikiran atau kekhawatiran-kekhawatiran disfungsionalnya.
  2. Menantang keyakinan dan sikap maladaptifnya tentang tidur dan dampak kehilangan jam tidur pada fungsinya disiang hari.
  3. Mengganti pikiran-pikiran itu dengan alternative-alternatif yang lebih realistis.
  1. Masalah-masalah Seksual
Hasrat dan perilaku seksual pada lansia sering diasumsikan jarang terjadi, ternyata tidak sepenuhnya benar (Pedersen, 1998). Terlepas dari berbagai perubahan fisiologis pada perempuan dan laki-laki, seperti menopause pada perempuan dan laki-laki, minat seksual pada lansia sampai umur 80 tahunan ternyata masih cukup tinggi.
Ada pendapat (misalnya, Zeiss dan Zeiss, 1990; Zeiss, Zeiss, dan Davies, 2000) bahwa klinisi seharusnya menggunakan intervensi-intervensi yang dirancang secara individual, yang difokuskan pada kombinasi elemen-elemen berikut: meningkatkan pengetahuan seksual, mengurangi kecemasan seksual, dan memperbaiki etni-etnik seksual. Ini termasuk membantu pasangan untuk memperbanyak ragam aktifitas seksual yang mereka anggap akseptabel dan menyenangkan. Adaptasi yang dilakukan agar sesuai dengan berbagai keterbatasan yang dialami oleh salah satu pasangan juga dibutuhkan. Bahkan dalam kasus-kasus tatkala hubungan seksual tak dapat dilakukan, kebanyakan pasangan menganggap cuddling (kelon), saling memijati, dan saling menyentuh sebagai tindakan yang sangat rewarding.
  1. Isu- isu yang Terkait dengan Kematian dan Menjelang Ajal
Saat ini ada dua tren yang mengharuskan perlunya fokus pada isu-isu kematian dan menjelang ajal pada lansia.
  1. Orang yang hidup lebih lama, dan semakin panjangnya umur manusia berimplikasi bahwa kebanyakan kematian akan terjadi pada usia yang sangat lanjut.
  2. Penggunaan berkelanjutan dari teknik-teknik memperpanjang umur membuat proses menjelang ajal semakin dapat dikontrol dan semakin dapat dinegosiasikan (Riley, 1992).
Elizabeth Kubler-Ross (1969), mendiskusikan tentang 5 tahap menjelang ajal yang dialami orang setelah tahuu bahwa sakitnya akan membawa kematian. Tahap-tahap kesedihan yang diikhtisarkan oleh Kubler-Ross, sebagai berikut;
  1. Pengingkaran: pasien tidak mau percaya bahwa dirinya akan meninggal.
  2. Marah: pasien marah kepada Tuhan atau sang nasib.
  3. Tawar-menawar: pasien mencoba menawarkan sebuah alternatif dengan Tuhan atau sang nasib.
  4. Menerima: pasien menerima kematiaannya.
D. Intervensi psikologis
  1. Asesmen: Bersikap Sensitif terhadap Isu-isu Penuaan
Seperti halnya orang-orang dewasa yang lebih muda teknik-teknik yang digunakan dalam asesmen psikologisnya termasuk wawancara klinis, reviu data dan catatan riwayat hidup, evaluasi kognitif dan neuropsikologis, asasmen perilaku, dan observasi situasional (Kaszniak, 1996). Tetapi, untuk lansia, psikolog perlu untuk berbagai tes dan lebih sering memasukkan tes kognitif dalam asesmen. American Psychiatric Association (1994) menyediakan pedoman untuk evaluasi demensia dan kemunduran kognitif terkait umur.
Untuk pasien-pasien yang memperlihatkan perilaku yang bersifat merugikan (misalnya; berkeliaran, berteriak-teriak, menyerang) asesmen perilaku dapat berguna dalam menetapkan tipe teknik yang berguna bagi pasien dan/atau staf yang menangani pasien (misalnya dipanti jompo) (Burgio, Flynn, dan Martin, 1987; Rader, 1994).
  1. Psikoterapi: Observasi Umum tentang Adaptasi dan Efektifitas
Kebanyakan penelitian tentang psikoterapi untuk lansia menggunakan pendekatan-pendekatan kognitif-behavioral, dan ini telah terbukti efektif untuk berbagai macam masalah (Scorgin dan Mc Elreath, 1994; Zarith dan Knight, 1996).
Cognitive and Behavioral Therapies (CBT)/Terapi kognitif dan behavioral, didasarkan pada pendekatan-pendekatan teoritis yang menekankan pada belajar seumur hidup dan keyakinan yang optimistic bahwa orang mampu menciptakan perubahan penting dalam pikiran, perasaan, dan tindakannya (misalnya, Goldfried dan Davison, 1994).
E. Psikoterapi Untuk Lansia
Ketika menangani lansia, penting untuk tidak berasumsi bahwa adaptasi tertentu pada terapi kognitif-behavioral selalu dibutuhkan. Setiap individu dalam terapi akan berfungsi dengan cara yang unik. Asesmen terhadap masing-masing klien seharusnya tidak hanya memasukkan informasi tentang presenting complaint, tetapi juga berbagai kekuatan dan deficit, guna menetapkan adaptasi mana yang lebih tepat.
  1. Adaptasi-adaptasi yang Lazim
Disisi positif beberapa perubahan dalam terpai sering kali dibutuhkan untuk merespon kekuatan-kekuatan ini dapat dianggap sebagai wisdom (kearifan) (Baltes dan Staudinger, 1993). Bahkan klien-klien yang tidak memenuhi kriteria mungkin pernah mengalami pengalaman hidup yang sulit. Kebanyakan lansia dapat mengabstraksikan informasi yang sangat membantu dari pengalaman-pengalaman itu dan mendiskripsikan ketrampilan-ketrampilan pribadi yang pernah membantu mereka dalam mengatasi kesulitan. Menunjukkan respek dan  minat yang tulus terhadap akumulasi pengalaman klien dapat mendukung terapi.
Adaptasi-adaptasi kunci terhadap terapi yang perlu dipertimbangkan untuk masing-masing klien lansia, yakni:
  1. Menggunakan pembelajaran multimodel (dengan banyak cara).
  2. Menanamkan kesadaran interdisipliner.
  3. Menyajikan informasi yang lebih jelas (more clearly).
  4. Mengembangkan pengetahuan (knowledge) tentang berbagai tantangan dan kekauatan terkait-penuaan.
  5. Menyuguhkan materi terapi dengan lebih lambat (more slowly).
  1. Intervensi-intervensi Psikologi dalam Konteks Tim Interdisipliner
Keluarga kadang-kadang merupakan kekuatan primer dibelakang lansia yang mencari perawatan kesehatan mental (Zeiss dan Steffen, 1996). Keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh semua anggota tim meliputi:
  1. Pengetahuan dan respek terhadap kemampuan anggota tim lainnya.
  2. Kemampuan untuk berbagi informasi secara jelas dengan professional-profesional yang memiliki latar belakang pendidikan dan latihan serta jargon yang berbeda.
  3. Kapasitas untuk mengonseptualisasikan kasus secara holistic, termasuk kecakapan dalam mengembangkan rencana penanganan tim secara tertulis.
  4. Ketrampilan kepemimpinan.
  5. Ketrampilan mengatasi konflik.


BAB III
KESIMPULAN

A.  Rangkuman
Lansia adalah populasi yang heterogen. Orang-orang yang tertarik pada kesehatan mental dan lansia harus memiliki pengetahuan yang luas tentang aspek-aspek psikologis, biologis, dan social dari penuaan. Psikopatologi pada lansia berupa disfungsi emosional dan hendaya kognitif. Angka psikopatologi dalam populasi lansia yang hidup di masyarakat maupun diberbagai institusi kira-kira 22%. Selain kesehatan mental, bidang-bidang lain yang dapat menjadi fokus penanganan lansia termasuk kesehatan fisik, penganiayaan lansia, insomnia, masalah-masalah seksual, dan isu-isu yang terkait dengan kematian dan menjelang ajal.
Penuaan populasi memunculkan berbagai tantangan dan peluang baru bagi para pekerja kesehatan mental yang berminat. Kami harap ikhtisar ini dapat menstimulasi minat terhadap isu-isu yang mempengaruhi lansia, keluarga, dan professional kesehatan yang berinteraksi dengan mereka.

1 komentar: